Lihat ke Halaman Asli

Ufqil mubin

Rumah Aspirasi

Panggil Paksa

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Pencemaran lingkungan yang terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) bukan lagi menjadi hal baru. Pemberian izin operasional penambangan memang dilegalkan secara undang-undang, namun hal itu tidak disertai dengan pengawasan ketat oleh pemerintah. Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) seolah menjadi formalitas belaka. Lihat saja, ratusan perusahaan yang beroperasi, sebagian besar dipastikan tidak melakukan reklamasi dan revegetasi.

Menariknya, ada perusahaan yang awalnya sudah dicap sebagai pelanggar undang-undang, dicabut izin operasionalnya, namun belakangan diketahui perusahaan tersebut tetap beroperasi. Publik tentu paham perusahaan mana yang saya maksud. Menurut anggota DPRD Kukar, Kamaruddin SH, pemberian izin terhadap PT Gunung Harang Sejahtera (GHS) bukan untuk melakukan penambangan batu bara, namun untuk melakukan reklamasi dan revegetasi.

Hal ini menghentak nalar dan rasionalitas kita. Apakah pemerintah daerah tidak melakukan pengawasan? Mengapa perusahaan yang sudah bertahun-tahun beroperasi, membuang limbah hingga mengakibatkan banjir, ratusan tanam tumbuh mati, dan pengalihan fungsi sungai yang awalnya untuk menutup kemungkinan adanya banjir menjadi tempat pembuangan limbah. Betul saja apa yang dikatakan Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam (PMII) Cabang Kukar, Sulaiman, perda tentang lingkungan tahun 2006 hanya dijadikan formalitas belaka.

Lalu apa yang sudah dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kukar untuk menyelesaikan silang sengkarut antara PT GHS dengan warga Kelurahan Seluang Kecamatan Samboja tersebut? Sejauh ini yang nampak dipermukaan, BLHD sudah melakukan tinjauan lapangan dan melakukan pertemuan dengan warga dan pemerintah setempat. PT GHS yang di undang pada Rabu (10/9) lalu, lagi-lagi tidak berkenan hadir dalam pertemuan tersebut.

Aktivitas penambangan batu bara yang dilakukan oleh PT GHS jelas sudah melanggar ketentuan undang-undang 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan. Meminjam istilah kuasa hukum pemilik lahan, Ahim, yang tercemar akibat ulah PT GHS, Nicolas Yohanes, pemanggilan yang dilakukan oleh BLHD yang sudah berlangsung sebanyak empat kali dan tidak di indahkan oleh PT GHS adalah bukti perlawanan terhadap pemerintah.

Pemanggilan paksa dan pembekuan izin operasional terhadap PT GHS adalah solusi yang bisa diketengahkan untuk menyelesaikan masalah ini. Pemerintah daerah dan DPRD sebagai pengontrol harus berani untuk mengambil tindakan tegas sesuai undang-undang yang berlaku. Kalau memang mekanisme mediasi sudah dilakukan dengan cara-cara halus, membawa kasus ini pada ranah pidana lingkungan menjadi opsi rasional, dengan harapan bisa memberikan pelajaran bagi perusahaan lainnya, supaya betul-betul menjaga pengelolaan lingkungan di tanah Kutai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline