Lihat ke Halaman Asli

Puncak Eksistensi Manusia

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jam dinding menunjukan 22:43. Beberapa menit lagi waktu menuju 00:00. Di saat itulah usia Kasih Al kamil tepat duapuluh tahun. Di ruang tengah terdengar ribut-ribut suara Nenek, Ayah, dan Ibunya yang sedang memburu tikus pengganggu. Ah, biarkan saja. Begitu pikir Kasih. Kasih ingat, saat kanak-kanak dan remaja betapa ulang tahun menjadi sebuah momen suka cita. Ucapan selamat, hadiah, dan pesta adalah inti dari ulang tahunnya. Tetapi kali ini berbeda. Ia banyak diam merenung. Kesenangan ulang tahun yang ia lalui di tahun-tahun sebelumnya serasa tak berarti.

Duapuluh tahun, kasih merasa sedikit tua di usia ini. Sedang ia merasa belum berbuat apa-apa. Buat dirinya sendiri apalagi buat keluarga dan apalagi buat negara. “Hahaha,” Kasih tertawa sendiri, bukan karena ada yang lucu, tetapi karena menahan kecut di hatinya.

Kasih selalu ingat, dari sebelum ia masuk TK orang-orang sekitarnya selalu menyebut dirinya pandai. Kasih tahu dan ia sadar betul tentang hal itu. “Aku memang pandai,” ujarnya palan-pelan. Namun bukan dengan nada kebanggaan, tetapi dengan nada merasa tak berarti.

Orang tua dan lagi-lagi orang di sekitarnya selalu menasehatinya untuk terus rajin belajar agar cerah masa depannya. Kasih telah melakukan semua itu. Tetapi lagi-lagi ia merasa hampa. “Rajin belajar, Sih. Biar pandai, untuk hidupmu sendiri di masa depan kelak.” Begitulah nasehat Kakenya yang diucapkan berulang-ulang hingga Kasih merasa jengah dan tak ada lagi kesakralan dari nasehat itu.

“Aku sudah belajar, aku sudah menjadi anak pandai seperti yang diharapkan orang—orang itu. Kata mereka itu untuk masa depankukata mereka itu untuk diriku sendiri,” bisik Kasih lirih. “Tetapi, setelah aku pandai setelah aku mendapatkan masa depan itu, kalaupun aku punya masa depan, apa lagi? Jika aku memiliki masa depan indah dengan kelebihanku ini, aku menjadi kaya raya, memiliki jabatan, apakah itu sebuah kehidupan? Aku merasa terasing, hampa. Seolah-olah menjadi pandai telah menyeretku pada kesendirian dan kesepian. Jelas aku hidup tanpa makna. Ah, buat apa menjadi pandai kalau begitu?”

“Jika memang Tuhan memberi kepandaian itu untuk diriku sendiri, untuk masa depanku sendiri, betapa tidak-mahaadilnya Tuhan.” “Lalu bagaimana mereka yang tak dianugerahkan Tuhan hal itu? Jelas itu tak adil!” Kasih berpikir keras, ia teringat Nietzche. Menjadi manusia unggul adalah tujuan akhir manusia. Manusia unggul tak boleh menikah karena jatuh cinta, apalagi jatuh cinta pada seorang pelayan. Jikapun harus jatuh cinta maka kepada manusia unggullah ia boleh. “Egois!” rutuk Kasih sedikit emosi. “Menjadi manusia unggul hanya memberimu sekat dari manusia lainnya.” “Seolah bumi ini terbelah menjadi dua bagian, untuk apa menjadi unggul jika keunggulan itu dinikmati sendiri lalu mati?” Kasih bicara sendiri semakin keras. “Menjadi manusia unggul mungkin bisa membuatmu bertahan hidup, seperti prinsip evolusi, seleksi alam.” “Tetapi hanya membuatmu hidup, hanya hidup. Tapi tanpa makna.”

Kasih teringat pada sebuah bagian dari hidupnya. Saat itu ia masih usia sekolah dasar, jauh di pelosok sana, di pinggiran sawah, ia mendengar sesuatu dari guru mengajinya bahwa sebaik-baiknya manusia ialah yang bermanfaat bagi orang lain. Betapa ajaibnya kata-kata itu, banyak kemudian kata—kata itu diulang-ulang di mimbar ceramah, di pengajian, di sinteron-sinetron dan di kampanye parta politik, sampai Kasih bosan dan kata-kata itu kehilangan kesakralannya. Tetapi malam ini, ia menemukan lagi makna magis kata-kata itu. Kata-kata dari pria Arab yang hidup 1600 tahun yang lalu, yang kini sangat populer dan jadi idola.

Pria Arab itu menjawab kegelisahan duapuluh tahun Kasih. Kasih tahu mengapa Tuhan memberi seseorang kepandaian, kekayaan atau kelebihan lainnya. Semua itu untuk manusia, untuk saling melengkapi dan memberi manfaat. Ia tersenyum puas.

Tetapi , tiba-tiba saja ia tehenyak, bagaimana caranya? Kasih kembali gelisah...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline