"JAWA hipokrit, Palembang pongah, Padang pelit, Batak kasar, Lampung..." kata Minan Tunja.
"Ah, boong. Orang Jawa halus budi bahasanya, empek-empek Palembang enak rasanya, orang Padang cakap berdagang, orang Batak banyak yang jadi penyanyi selain tukang tambal ban, orang Lampung...," sahut Pithagiras.
"Eh, giliran orang Lampung kok pada berenti. Emang orang Lampung gimana?" tanya Udien.
"Induh weh," celetuk Mat Puhit.
"Soalnya tentang orang Lampung banyak yang tidak tahu atau tidak mau tahu. Lampung itu kayak apa sih? Bahasa Lampung itu bahasa apa? Tidak banyak yang paham. Oleh orang Lampung -- sering membahasakan diri dengan ulun Lampung -- sendiri. Apa lagi yang bukan ulun Lampung."
"Iya, saya merasa kok ulun Lampung dimarginalkan dalam arti orang -- termasuk yang tinggal di Lampung sendiri -- merasa tidak perlu mengenal Lampung atau kelampungan; bahasa, kebiasaan, tradisi, adat-istiadat, kesenian, kebudayaan, ... dst. Maka, benarlah Lampung itu cuma nama provinsi saja, tetapi makna dan apa pun yang tersirat dari nama Lampung tak perlulah dibicarakan panjang lebar..." gugat Radin Mak Iwoh.
"Masalahnya, kaum elite Lampung sendiri sering menyalahartikan, bahkan menyalahgunakan nilai-nilai kelampungan untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan sih," sambut Mat Puhit kesel.
"Apa misalnya?" kejar Radin Mak Iwoh.
"Ai, sudah lama adat itu cuma dijadikan alat politik saja! Maka, kalau pemimpin daerah bicara kearifan lokal, tentang keluhuran budaya, tentang tingginya peradaban orang Lampung... weh, sapa muneh sai percaya?"
"Maka, semakin sesatlah pandangan orang terhadap ulun Lampung. Yang lahir kemudian adalah stereotipe-stereotipe betapa buruk kelakuan ulun Lampung. Bahwa orang Lampung itu... Hayo siapa yang berani bilang."
Stereotip itu adalah pictures in our head, kata Walter Lippman. Stereotipe adalah persepsi yang dianut yang dilekatkan pada kelompok-kelompok atau orang-orang dengan gegabah yang mengabaikan keunikan-keunikan individual.