BUKU ini sebenarnya bukan buku. Sebab, temanya kelewat beragam. Iwan Nurdaya-Djafar menyebutnya dengan nirbuku (klik: Sisindiran ala Udo Z Karzi). Ai, iyalah kali. Ada 101 kolom di situ yang ditulis dalam kurun waktu 2002-2004. Saya tidak terlalu paham tema apa saja yang saya tulis. [caption id="attachment_198999" align="alignleft" width="300" caption="Mahbub Djunaidi. Kolom Demi Kolom. Jakarta: Gunung Agung, 1986. 202 hlm."][/caption] Yang, penting bisa berceloteh... Syukur-syukur kalau bisa buat orang tertawa, paling nggak nyengir atau mesem-mesem kalau nggak malah sebel dan nggak jadi baca. Hehee... Tapi, kalau mau ngeyel, banyak juga buku yang berisi kumpulan kolom. Contohnya buku yang dipinjam untuk judul tulisan ini, Kolom Demi Kolom (1986) karya Mahbub Djunaidi. Kumpulan kolom Mahbub Djunaidi lainnya, Politik Tingkat Tinggi Kampus (1978), Humor Jurnalistik (1986), dan Asal Usul (1996). Buku kumpulan kolom Ahmad Tohari: Mas Mantri Gugat (1994), Berhala Kontemporer (1996), Mas Mantri Menjenguk Tuhan (1997). Umar Kayam dengan kumpulan kolom, Mangan Ora Mangan Kumpul (1990), Sugih Tanpa Banda: Mangan Ora Mangan Kumpul 2 (1994 ), Madhep Ngalor Sugih Madhep Ngidul Sugih (1990), Satrio Piningit: ing Kampung Pingit (2000), dan Titipan Umar Kayam (2002). Mohamad Sobary dengan Kang Sejo Melihat Tuhan (1993) dan Singgasana dan Kutu Busuk (2004). Yang paling banyak, Emha Ainun Nadjib dengan buku kolom: Slilit Sang Kiai (1991), Markesot Bertutur (1993), Markesot Bertutur Lagi (1994), Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1994), Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki (2007), Jejak Tinju Pak Kiai (2008), dll. Ada lagi Goenawan Mohamad yang membukukan kolomnya: Catatan Pinggir Jilid 1--9. Aduh kalau mau disebut semua bisa banyak betul. Di Lampung saja sudah ada buku kumpulan kolom Buras (2004) yang ditulis Bambang Eka Wijaya, penerima penghargaan Musium Rekor-Dunia Indonesia (MURI) sebagai penulis kolom paling produktif tanpa jeda dari 20 Mei 1998 hingga kini. Lalu ada juga: Watak Itu Bernama Amplop (2007) karya Hesma Eryani dan Jujur Saya Tidak Jujur (2010) karya Sudarmono. Kalau kemudian Mamak Kenut terbit, saya pikir ya cuma meneruskan tradisi. Cuma jangan dibilang ikut-ikutan atawa latah dong! Percayalah, ada yang beda dalam Mamak Kenut. Kalo nggak percaya, baca aja... Lebih bagusnya, beli aja bukunya. Hehee... *** Ah, sebenarnya saya saya tidak hendak menulis mengenai buku Mamak Kenut ini. Tapi, hanya ingin berbagi kisah mengenai bagaimana saya berkenalan, pdkt (pendekatan), dan kemudian jatuh cinta dengan yang namanya kolom. Kemudian kawin dan melahirkan anak-anak bernama kolom. Hahaa... maksudnya saya ingin sedikit bercerita tentang bagaimana saya bersentuhan, membaca, dan -- karena membaca adalah belajar, kata Alif Danya Munsyi -- lalu mulai menulis kolom. Kolom demi Kolom! Begitu judul buku Mahbub Djunaidi. *** Saya lupa persisnya kapan saya mulai kenal jenis tulisan jurnalistik yang bernama kolom. Tapi, saya kira proses pengenalannya -- teori dan bentuk riilnya -- berjalan seiring dengan "kegilaan" saya membaca semua jenis bacaan: cerpen, novel, puisi, artikel, dan buku-buku apa pun, kecuali... yang memuat rumus-rumus fisika, kimia, dan matematika. Hihii... entahlah otak saya sejak dulu terlalu payah kalau dihadapkan pada ilmu-ilmu eksak. Hmm, saya tak ingin menyodorkan pengertian kolom karena saya pun paling males menghapalkan definisi. Sama... begitu sebalnya saya membaca tulisan yang dimulai dengan, "Yang dimaksud dengan kolom adalah...." *** Ei... dari mana ya saya mulai bewarah (bahasa Lampung, artinya bercerita). Hmm, begini saya tadi bilang senang baca puisi, prosa, artikel, esai, dll. Pokoknya tulisan atau karanganlah. Tulisan itu adanya di surat kabar, majalah, dan buku-buku. Ada juga di pamflet, papan nama, di jalan-jalan, atau selebaran. Tapi, yang terakhir ini tidak terlalu menantang untuk dibaca, apalagi untuk dinikmati sebagai bacaan yang asyik gitu. Aduh, kok mulai ngaco. Baiklah, warahan (lihat bewarah deh!) saya bagi menjadi dua. Bagian pertama saya ingin bercerita tentang membaca (terutama kolom) dan bagian kedua, mulai menulis kolom tapi kok keterusan. Nah, ini saya akan saya tulis pada Kolom Demi Kolom (3) nanti... BERSAMBUNG Baca juga: Kolom Demi Kolom (1) Kolom Demi Kolom (3) Kolom Demi Kolom (4)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H