Lihat ke Halaman Asli

Insomnia (Episode: Sarapan Pagi)

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kuusap tumpukan debu pada susunan kaca nako jendela kamar kostku. Pukul sebelas malam. Setiap kali melihat debu yang melekat di sana, teman-teman kerja yang sering mampir selalu sibuk mengingatkan perlunya sentuhan seorang wanita—sebuah sindiran halus untuk menyuruhku cepat-cepat menikah. Setengah bercanda kusebut mereka sebagai para tiran yang keji, melandaskan pernikahan dengan tujuan membersihkan debu begitu. Rasanya kurang manusiawi jika mencari seorang pasangan hanya untuk ditempatkan sebagai pembersih debu. Itu hampir sama dengan menjalani suatu kebersamaan jangka panjang, berbagi gelisah dan kenyamanan, melewati pahit-getir kehidupan, bersama sebuah kamoceng? Kedengarannya seperti skenario film horor. Kurasa perlu landasan yang amat kuat untuk bisa tegar mengarungi bahtera kehidupan dalam kebersamaan, saat setiap keputusan mesti jadi tanggungan bersama, tak lagi semata kebutuhan dan obsesi perorangan. Seorang psikolog rumah tangga, yang tulisannya sering kubaca di koran, bahkan pernah mengatakan bahwa yang selama ini kita anggap sebagai cinta hanya mampu menopang kebersamaan maksimal satu tahun saja dalam sebuah pernikahan. Selanjutnya adalah kemauan untuk saling bekerja sama melalui serangkaian proses pemahaman. Huff! Salah memilih mitra dalam hal ini bisa berarti petaka sepanjang umur! Pusing juga. Akan tetapi ini mungkin hanyalah proyeksi dari ketakutanku saja. Teman-teman kerjaku, dalam kesementaraan dan komentar kejamnya, apa benar mereka adalah sekumpulan tiran? Pikiran sumpek seringkali membuatku berprasangka yang bukan-bukan. Aku masih harus belajar agar bisa menerima semua persinggungan dengan orang lain sebagai sebuah perhatian, tanpa adanya persepsi yang kepagian. Hummh… sebuah kesadaran yang hadir dari menatap tumpukan debu. Seperti menegaskan kalimat klise, bahwa manusia itu bagaikan sebutir debu dalam luasnya kehidupan. Melayang tertiup angin, tanpa tahu pasti di mana akan singgah dan melekat.

Meski begitu lelah tiap kali pulang dari bekerja, sesampainya di tempat kost, aku tak selalu bisa beristirahat. Seringkali aku hanya membolak-balik badan di atas kasur, terbawa dalam gelombang pemikiran yang berseliweran di kepala, menunggu si penabur pasir singgah untuk menggelayuti mataku dengan rasa kantuk. Seperti malam ini, kegelisahan kembali menghantui tanpa bisa kucegah. Kalau sudah begini, aku perlu sejenak menghirup udara luar, pergi dari belitan kenyamanan sebuah kamar. Kulihat kamar-kamar di sebelah sudah memadamkan lampu. Para penghuninya sudah tertidur lelap.

“Bandi, jangan gitu doong...!” Terdengar suara Yuli yang mengigau sambil menyebut nama pacarnya. Apa yang sedang mereka lakukan dalam mimpi malam ini? Sampai teriak-teriak begitu, jadi penasaran. Sementara dari kamar Pak Eko, terdengar suara dengkurannya yang khas, lapang dan jumawa. Igauan mimpi cinta dan suara dengkuran puas. Ada satu koneksi aneh dalam dua hal tersebut. Entah apa. Yang pasti, dua-duanya dilakukan oleh orang-orang yang sedang larut dalam tidur.

Kuambil jaket biru kesayanganku, lalu turun menyusuri tangga. Di bawah, ada ibu kost yang sedang asyik menyulam. Seperti biasa, ia tersenyum ramah.

“Mau keluar malam lagi, Mas?”

“Iya nih, mau cari angin.”

“Awas masuk angin lho, kan belum ada yang ngerokin….”

Aku paham maksud kalimatnya. Kalimat semacam itu sering juga disampaikan keluargaku. Sebuah kalimat yang setiap kali diperdengarkan selalu membuatku terbayang pada keinginan untuk menikmati sarapan pagi pisang-coklat dan kopi susu sambil memandangi pipi merona merah jambu, rambut kusut-keramas, dan desah bermanja. Pelabuhan terakhir tempatku merangkum segenap cerita hidup. Suatu saat nanti aku mesti beristirahat di sana. Ya, aku ingin juga. Ya, suatu saat.

Tergesa-gesa aku menuju pintu keluar, meninggalkan ibu kost dengan sulamannya. Menyambut cahaya bulan dan semilir angin malam. Suara jengkerik dalam kandang berpadu apik dengan deru mobil dari jalan raya, ditingkahi obrolan lepas di depan warung-warung dan teras rumah, sekumpulan pemuda bermain gitar sambil menyanyikan lagu-lagu damai. Kuraba saku jaket, ada lima ribu rupiah tersisa di sana, cukup untuk sekali singgah di warung kopi.

Pukul setengah dua belas malam. Menyusuri jalan pada saat-saat seperti ini hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang telah akrab dengan keheningan yang sublim. Kesunyian yang tetap waspada. Kita tidak akan pernah tahu apa yang menanti di balik tikungan, apa yang bersiap di penghujung jalan dan apa yang mengikuti dari belakang. Terutama di ruas KMGS ini, seruas jalan yang penuh dengan kejutan di tiap belokan. Meski sudah ada cermin besar yang terpasang di persimpangan; sebuah amar dengan permukaan kusam oleh debu jalanan. Tak banyak membantu. Masih banyak orang terpeleset di sini. Terlalu banyak persimpangan yang terhampar, serangkaian pilihan menghiasi tiap sudutnya, mesti hati-hati dalam memilih agar tidak terperangkap di sudut yang justru mematikan pilihan. Kerak dan lumut, pendar lampu-lampu neon yang menyilaukan, juga tumpukan sampah, membuat langkah jadi mudah tergelincir. Anehnya, banyak juga yang sudah tergelincir di salah satu sudut kemudian sengaja datang ke sana untuk jatuh kembali. Pemeo yang terkenal di jalan KMGS: Waspadalah atau jatuh cinta lagi!

Jalanan di sepanjang trotoar selalu becek karena buangan dari warung-warung jajan pinggir jalan. Warung-warung penopang sebuah irama kehidupan, sering juga aku duduk-duduk di sana. Memesan segelas minuman hangat, menghirupnya sedikit-sedikit, lantas merenung sampai rasa kantuk datang. Rata-rata pelayan di sana bersikap terbuka dan anti kesombongan, selalu akrab mengajak ngobrol orang-orang yang tampak kesepian. Terkadang aku melihat beberapa dari mereka menjual sesuatu dalam bungkusan kecil kepada beberapa pelanggan khusus secara sembunyi-sembunyi. Orang-orang dengan mata sayup dan senyum sedamai nirwana. Kadang di sana ada juga beberapa makelar yang, sembari mengajak ngobrol dan minum kopi, menawarkan jasa pelayanan khusus dari para tenaga ahli penjual kehangatan tubuh. Butuh pria atau wanita? Gincu tebal atau wajah lugu sederhana? Malah yang masih berseragam pelajar juga ada. Tidak mesti resah bila memang tidak berminat, mereka pun tak akan memaksa. Saranku: lebih baik ajak ngobrol saja; bebas penyakit, dan tak perlu membayar.

Para pengamen berkeliling dari satu warung ke warung lain. Anak-anak kecil berbaju dekil juga berkeliling sambil menadahkan tangan. Seorang ibu dengan bayinya menggelar tikar, dan berbaring lemas di jembatan penyeberangan. Di sampingnya ada mangkuk plastik tempat pejalan kaki melemparkan uangnya. Seorang lelaki dengan rambut kusut dan pakaian compang-camping sibuk menyapu anak tangga jembatan.

Selamat malam, selamat datang di Simpang KMGS.

* * * * * *

Beberapa meter di depanku tampak seorang wanita melenggang santai membawa dua bungkusan plastik berlogo salah satu pusat perbelanjaan terkenal. Kantung bawaannya itu terisi penuh dengan aneka macam barang (belanja bulanan?) Mungkin ada beberapa tempat yang dia singgahi setelah berbelanja, sehingga baru pulang selarut ini. Langkahnya terayun ringan, pandangannya lepas dan ramah memandang sekeliling, gayanya menyiratkan seseorang yang tak terisaukan oleh beban hidup. Perhatianku mendadak jadi terpusat kepada wanita itu. Aku merasa ingin menangkap setiap detil pada dirinya; dari ujung rambutnya yang berwarna kecoklatan sampai ke ujung kakinya yang dibalut sepatu kanvas. Sepertinya dia pun sadar bahwa aku memperhatikannya, namun dia tak merasa terusik dan tetap melenggang dalam damai. Pribadi yang menyenangkan. Aroma lembut minyak wangi berkelas menyapa hidungku saat kami berpapasan. Dia tersenyum lebar ke arahku, sinar lampu jalanan membuat kawat giginya berkilau. Agak kikuk aku membalas senyumannya. Mendadak, terasa ada dua getaran bergelenyar di belakang kepalaku; getaran pertama menitahku untuk mendekati dan mengajaknya berkenalan. Getaran kedua, membawa pandanganku menangkap nada getir di bening bola matanya. Ada apa dengannya? Mungkin tidak ada apa-apa, getaran-getaran ini seringkali membawaku pada posisi salah duga. Kubiarkan saja dia berlalu, dan kembali meneruskan perjalanan kami masing-masing.

Sejarah terjalin dari beberapa peristiwa kebetulan, kalimat itu mendadak terlintas di kepala. Seperti wahyu. Seperti inspirasi. Seperti puisi.

* * * * * *

Langkahku terus terayun seperti tanpa tujuan, meski sebenarnya tujuanku cukup jelas namun tidak terlihat, karena hanya aku sendiri yang memahaminya. Sampai tak terasa aku sudah melangkah cukup jauh. Lututku mulai terasa linu. Malam kian beranjak menuju dini hari. Aku berdiri di pinggir jalan raya, mengamati lalu-lintas yang mulai berangsur sepi. Dua puluh menit lewat tengah malam. Teman karibku dari Komunitas Utan Tua, sebuah perkumpulan sastra di Citeureup yang sekarang sudah tak jelas nasibnya, pernah mengatakan bahwa para penyair baru memulai hidupnya selepas pukul tiga pagi. Meskipun aku senang pula menggubah puisi, rasanya masih belum pantas untuk bisa menyatakan diri sebagai penyair; puisi-puisiku hanyalah tumpahan dendam pribadi dan keluh-kesah semata. Namun, sebagai seorang pekerja pun aku masih belum bisa membuktikan apa-apa. Penghasilanku hanya cukup untuk membayar uang kost dan jatah ransum setiap bulannya. Aku belum bisa sepenuhnya membiayai diriku sendiri, apalagi membiayai kebersamaanku dengan orang lain. Sekujur tulangku mendadak linu dan ringkih, kurasakan detak waktu bergerak cepat melewatiku seperti laron menuju nyala api kematiannya. Aku berdiri sendirian di pinggir jalan. Dadaku sesak menahankan gelisah dan rasa takut yang tak terjelaskan. Sampai kemudian kudengar suara sejuk-damai di sampingku, nadanya seperti udara yang bersemilir, mendinginkan aura panas di belakang kepala.

“Masih memikirkan langkah selanjutnya?” suara itu menegurku.

Aku menoleh dan mendapatkan seorang lelaki paruh baya dengan kepala dibebat kain warna hitam, dipadu kemeja tani dan celana kutung berwarna sama. Dia berjangut seadanya, sama seperti aku. Aku menjawab pertanyaannya dengan senyum getir dan anggukan lemah.

“Masih mengangankan sarapan pagi?” tanyanya lagi.

Kembali aku mengangguk lemah, dengan senyum dikulum.

Dia melanjutkan kata-katanya, “Pernikahan tidak hanya soal sarapan pagi setelah tidur bersama( dan kau mengutuk orang lain sebagai tiran?) Pernikahan terutama adalah soal tanggung jawab dan kematangan sikap. Ketika kau menikahi seseorang maka tidak saja kau menikah dengannya melainkan dengan seluruh anggota keluarganya. Jika kau belum bisa menghadapi satu saja pribadi yang berbeda dengan baik, bayangkan jika harus menghadapi sekumpulan pribadi yang bervariasi, di mana dirimu, biar bagaimanapun, tetap dianggap orang luar? Bayangkan sebuah pertemuan keluarga di mana kau lamat-lamat direndahkan karena dianggap tak becus dalam mengelola rumah-tanggamu? Mengerikan ya? Tapi, tenanglah duluuu… jangan biarkan dirimu terbelenggu dengan pemikiran sejauh itu ketika kau hendak memulai suatu hubungan. Jalani saja dulu dengan rasa yang lapang. Satu hal yang harus kau ingat: jujurlah pada awalnya. Jujurkan dirimu. Jangan biarkan kegamangan, apalagi kebohongan, mengganggu langkahmu ke depan. Waspada. Tetap kalem saat suasana kacau dan tetap awas di saat suasana sedang tenang. Jadilah teman berbagi seorang ibu dan pahami kegelisahan seorang bapak. Jangan jadi pengobok-obok, jadilah seorang penjaga. Jadikan juga dirimu, tanpa henti, sebagai seorang pejuang hidup yang pantang gugur sebelum berjuang. Kau pernah ada di istana gading dan pernah juga di comberan busuk. Setelah melalui semua itu semestinya kau sudah jadi manusia setengah dewa sekarang ini. Tegar, meski dalam gemetar. Setia, meski dalam gatal. Dan… jangan lupa untuk menabung….” Dia menutup kalimatnya dengan tawa terkikih-kikih.

Setelah menegaskan semua itu, dia menghilang begitu saja. Almarhum kakekku pernah mengatakan bahwa seorang lelaki dengan rahang Sumatera dan mata Pandeglang sepertiku, akan sering mengalami penampakan gaib dalam hidupnya. Untuk menegur, mendampingi, dan menyeimbangkan. Mungkin pria tadi adalah salah satu penampakan itu, atau mungkin ini karena sudah beberapa hari aku kurang tidur. Bagaimana pun, aku merasakan suatu kelegaan setelah mendengar petuah tadi. Jadi ingin tahajjud. Segera kuayunkan langkah untuk kembali menuju kamar kost-ku tercinta, yang sebentar lagi akan kutinggalkan karena kantorku rencananya akan memberikan jatah mess. Kuraba saku celana… ya ampun, aku lupa membawa kunci pintu depan! Ketergesaan, salah satu kecenderungan yang sering terjadi pada orang-orang yang sedang tidak stabil kondisi emosinya. Aku tadi terburu-buru untuk pergi, ingin cepat-cepat keluar dan menghindar. Duh, semoga saja ibu kost masih asyik dengan sulamannya, aku merasa tak enak bila harus mengetuk-ngetuk pintu lewat tengah malam begini.

Sepanjang perjalanan pulang, kusapukan pandangan ke sekitarku. Kegelapan masih menyelimuti, dan aku masih sendirian. Satu pemikiran mendadak mampir: setelah kegelisahan malam ini kutuntaskan, besok malam dia mungkin akan datang dengan kekuatan dua kali lipat, menantangku untuk kembali menuntaskannya. Menyisakan dua pilihan buatku, berhenti merasa tertantang atau terus-terusan jadi pejalan malam. Ini adalah lingkaran setan yang menggodaku untuk kembali menenggak jamu pasak bumi cap Nietszche: “Apa yang tidak membunuhmu, akan membuatmu bertambah kuat!”

Kehidupan rasanya tidak pernah memberikan waktu lama untuk sebuah perasaan lega. Terima kasih, kehidupan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline