Partai Golkar adalah saksi sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia menuju era demokrasi. Sepanjang perjalanannya Golkar merupakan satu-satunya Partai Politik yang memegang kekuasaan penuh dalam setiap kebijakan pemerintahan orde baru terutama periode pemilu awal tahun 1971 dan tahun 1977. Kisah heroisme kemenangan Golkar masa itu tak lepas dari dukungan maupun campur tangan militer dan birokrasi.
Campur tangan militer dan birokrasi inilah yang menjadikan Golkar dianggap sebagai parpol yang tidak mandiri dan berimplikasi pada nilai-nilai dalam Golkar yang lebih mencerminkan kepentingan rezim yang berkuasa. Seperti yang dicatat Ken Ward “praktik represif yang dilakukan militer dalam memaksakan kemenangan Golkar dalam pemilu 1971 di wilayah Jawa Timur” sehingga kemenangan tersebut sarat dengan rekayasa politik.
Dalam perkembangannya, setelah pemilu kedua 1977 Golkar akhirnya tidak lagi mengandalkan cara-cara represif untuk mempertahankan keunggulannya, namun mulai membangun basis jaringan yang luas dalam masyarakat (dengan tetap mengandalkan jalur pendukung tetap yang dikenal dengan jalur A(ABRI), B(BIROKRASI)) dengan kebijakan pimpinan Golkar Sudharmono untuk membentuk kader di setiap desa sekurang-kurangnya 100 orang kader. Kebijakan inipun berbuah dengan kemenangan mutlak (single majority) pada pemilu 1987 yang terus dipertahankan hingga pemilu terakhir orde baru. Selain itu Golkar juga memiliki jaringan yang luas dalam pemerintahan. Keterlibatan tokoh, kader, dan fungsionaris Golkar dalam jabatan penting politik selama kurun orde baru telah membawa dampak yang positif bagi kinerja organisasi.
Di tengah hingar bingar uforia kemenangan dan isu penerus Soeharto, perekonomian Indonesia akhirnya dihadapkan pada krisis moneter yang melanda beberapa negara Asia. Kurang dari 1 tahun setelah sebelumnya dipuji oleh lembaga-lembaga internasional seperti WorldBank pada 1997 ekonomi Indonesia berubah menjadi bencana yang akhirnya memaksa pemerintah harus menggantungkan dirinya masuk dalam komunitas bantuan internasional.
Klimaksnya terjadi pada 15 Januari 1998 Presiden Soeharto & Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus menandatangani program bantuan keuangan yang menandakan bahwa posisi Indonesia berada pada masa krisis ekonomi. Hingga pada 21 Mei 1998 Soeharto pun tumbang setelah sebelumnya gelombang massa aksi menuntut adanya Reformasi berhasil menduduki gedung DPR-MPR.
Sebenarnya Partai politik memiliki arti yang sangat penting di era demokrasi. Aksioma pun berkembang tidak ada system politik yang berjalan tanpa Partai Politik kecuali system politik yang otoriter atau system kekuasaan tradisional. Pasca berhentinya Soeharto menjadikan Golkar organisasi politik terbesar pendukung rezim orde baru seakan kehilangan haluan politiknya, namun di luar dugaan kekuatan politik ini mampu survive ketika terjadi transisi menuju demokrasi yang sebelumnya menurut para pelaku-pelaku reformasi Golkar takkan bertahan lama di era reformsi.
Menurut Amien Rais “Saya kiradengan turun panggungnya Pak Harto, otomatisGolkar akan mengecil, kalau tidak malah bubar.Golkarsudah tidak pamornya lagi. Lagi pula apa yang Anda harapkandari orang-orangseperti Harmoko, Hartono,dan Tutut? Artinya, Saya kira pilar-pilar Golkar sudah hancur. Jadi lebih baik buka lembaran baru sama sekali”.
A.S Hikam pakar politik (LIPI) “Golkar menjadi besar & solid pada masa orde baru karena tidak lepas dari dukungan militer, birokrasi,dan kembali ke mantan Presiden Soeharto yang bertindak sebagai Ketua Dewan Pembina. Golkar dengan sendirinya akan pecah dan hancur kalau tidak juga akan digulung rakyat dan zaman sendiri. Kalau pemilunya Demokratis dan pelaksanaannya fair Golkar pasti akan kalah dan dalam waktu tidak lama akan bubar”.
Di tengah tekanan politik yang keras tersebut, Golkar dalam kondisi yang tidak menguntungkan tersebut meraih suara 23.741.749 dan memperoleh 120 kursi di DPR pada Pemilu 1999. Keberhasilan Partai Golkar yang cukup signifikan tersebut,justru menimbulkan resistensi berbagai masyarakat yang menghawatirkan kembalinya kekuasaan status quo. Sungguhpun pada pemilu kedua era reformasi 2004, Partai Golkar meraih dukungan suara terbesar dari para pemilih yaitu 24.461.104 atau 128 kursi. Partai Golkar pun satu-satunya Partai Politik yang mendapatkan tambahan suara terbesar yaitu 719.355 suara.
Keberhasilan Partai Golkar untuk bertahan hidup dan meraih dukungan suara kedua Pemilu 1999 dan menjadikan pemenang Pemilu 2004 merupakan fenomena menarik dalam bidang politik dan kepartaian. Hal ini karena struktur politik yang aa telah mengalami perubahan secara total dan rezim orde baru yang menjadi patron kekuatan politik Golkar itu sendiri telah bubar.
Dalam banyak kasus yang terjdi di negara-negara lain, tidak banyak partai politik pendukung utama rezim otoritarian yang digulingkan kemudian mampu bertahan hidup pada masa transisi demokrasi. Golkar adalah satu-satunya dari sekian Partai Politik yang meraih dukungan suara atau jumlah kursi yang signifikan di parlemen di era transisi menuju demokrasi. Kemampuan bertahan Partai Politik pendukung rezim orde lama yang digulingkan pada era transisi menuju demokrasi tersebut merupakan fenomena yang jarang terjadi. Meskipun demikian Busse dalam studinya mengungkapkan “There are few examinations of how established organizations survive and adapt succesfully to environmental changes that often undermine the very grounds for their existence”.