Permasalahan tanah khususnya yang menyangkut lahan milik negara yang hak penguasaannya diberikan kepada BUMN akhir-akhir ini sering muncul di media dari berbagai wilayah. Permasalahan ini semakin tampak tatkala masyarakat secara ilegal dan berkelompok mendiami secara ilegal lahan-lahan tersebut.
Terkadang lahan-lahan yang ditempati secara ilegal tersebut luput dari pantauan petugas. Parahnya tak hanya menempati secara ilegal, mereka yang menggunakan lahan tersebut kemudian berbondong-bondong melakukan pensertipikatan lahan. Selalu saja dalihnya Berlindung dengan UU PA tahun 1965. Padahal penerapan UU tersebut dinilai tidak pas karena bukan peruntukannya jika tanah tersebut bukan tanah negara bebas atai tanah negara yang sudah jelas diserahterimakan hak pengelolaannya.
BAP DPD RI sering salah kaprah memahami permasalahan tanah yang dimaksud. Mereka tidak paham sejarah pertanahan namun bisa memberikan opini yang semustinya pakar sejarah yang mengatakan. Ini jelas melanggar kode etik. Salah satunya seperti Andi Surya salah satu anggota DPD RI dari Lampung yang sering bersilat lidah tentang permasalahan ini tanpa memahami dasar keilmuan tersebut.
Silahkan saja gugat melalui pengadilan bila memang memiliki bukti kepemilikan, toh selama ini konspirasi yang digunakan menjelang Pemilu ini hanya sebatas celotehan di depan publik. Karena ia sadar bahwa ia pun ragu dengan ucapannya dan takut jika hukum meminta pembuktian terbalik atas laporannya, pasalnya ia bukan ahlinya dan bukan bidang yang ia kuasai.
Jadi terkait permasalahan di Kebon Harjo Semarang, Lampung, dan lain sebagainya BAP DPD RI jangan hanya berpikir ini sebagai langkah strategis untuk mendulang suara dan popularitas panggung politik, namun perhatikan juga aspek fakta dan kajian ilmunya untuk menyelesaikan permasalahan. Nah, mumpung belum terlanjur malu, marilah kita sampaikan sedikit hasil diskusi saya dengan seorang praktisi arsip di Leiden.
Pada tanggal 8 Oktober 2018 tim dari Kanwil BPN Sumatera Utara melakukan kunjungan kerja ke Kantor Pusat PT. KAI (Persero) di Bandung. Tujuan mereka adalah ingin mengetahui lebih lanjut khasanah Grondkaart milik PT. KAI (Persero) dan mengetahui lebih lnajut tentang fungsi dan status Grondkaart sebagai alas hak dari kepemilikan aset PT. KAI.
Tujuannya adalah agar BPN tidak ragu-ragu menerbitkan sertipikat berdasarkan Grondkaart atas objek lahan terkait. Dalam kunjungan tersebut, tim disambut antara lain oleh Nico Van Horn dari Leiden. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa Grondkaart merupakan hasil dari suatu proses pengukuran tanah yang terbit dalam bentuk surat ukur tanah dan kemudian disahkan oleh pejabat yang berwenang.
Keberadaan Grondkaart dimulai sejak terjadinya perubahan sistem hukum di Belanda khususnya hukum agraria. Ini dimulai dari awal abad ke-19 ketika Belanda di perintah oleh Raja Louis Napoleon, adik kandung Kaisar Napoleon Bonapartai sebagai Kaisar di Perancis. Pada saat itu Napoleon menguasai hampir seluruh daratan Eropa dan merubah banyak struktur hukum di negara-negara Eropa sebagai dampak dari Revolusi Perancis.
Salah satu produk Revolusi Perancis yang sangat berpengaruh terhadap sistem hukum Eropa (kontinental) adalah adanya kebebasan dan persamaan hak setiap individu secara materi. Sejak itu hak-hak pribadi individu diakui secara resmi oleh negara dan tidak ditindas oleh penguasa atau raja seperti yang terjadi pada era feodal sebelum Revolusi Perancis.
Dibawah pengaruh hukum Perancis yang baru, sistem hukum di Belanda juga mengadopsi penghormatan atas nilai-nilai materi individu. Salah satu aspek pentingnya adalah pengakuan terhadap kepemilikan atas tanah oleh setiap warga negara. Tanah tidak lagi dikuasai oleh raja atau bangsawan feodal maupun oleh gereja secara sewenang-wenang dengan mengabaikan hak rakyat, tetapi dilindungi dan dihormati oleh negara.
Untuk itu negara membentuk suatu lembaga negara yang khusus melaksanakan tugas tersebut dan disebut Kadaster. Lembaga ini dibentuk oleh Raja Louis Napoleon ketika dia memerintah Belanda antara tahun 1806 dan 1810.