PT. KAI (Persero) Divre IV Tanjungkarang menyelenggarakan focus group discussion mengupas tuntas tentang Grondkaart menghadirkan beberapa pakar profesional pertanahan eks Sekjen Kementerian ATR/BPN M. Noor Marzuki dan Advisor Aset PT. KAI (Persero) Pusat, Rabu (29/8) di Krakatoa Grand Elty, Kalianda, Lampung Selatan.
Acara dibuka oleh Deputy Executive Vice President PT. KAI (Persero) Divre IV Tanjungkarang Asdo Artriviyanto. Hadir pula President Director Kereta Pariwisata Totok Suryono yang memperkenalakan berbagai layanan inovasi Kreta Pariwisata. Berbagai fasilitas lengkap di dalam kereta pariwisata yang terintegrasi dengan berbagai layanan di setiap stasiun juga turut diperkenalkan.
Permasalahan penyerobotan dan klaim atas tanah negara yang dikelola oleh BUMN berbagai oknum marak dilakukan. Berbagai dalih dihalalkan untuk memperkosa hak kepemilikan tak jarang dilakukan dibawah ancaman. UUPA tahun 60, keabsahan Grondkaart dan Hukum Kolonial menjadi isu yang selalu dijadikan kambing hitam oleh mereka yang sudah terlanjur nyaman menyetubuhi lahan BUMN secara ilegal. Berikut penjelasan pakar yang dapat dirangkum :
Grondkaart merupakan hasil dari sistem hukum era kolonial, jadi bukan sistem hukum itu sendiri atau aturan hukum. Berkaitan dengan hal tersebut Grondkaart menjadi alat bukti yang merujuk pada objek tetap yaitu tanah sebagai aset.
Grondkaart dibuat untuk membuktikan objek sebagai milik negara atau terkait erat dengan kepentigan negara. Terlepas perubahan sistem pemerintahan atau hukum, baik kolonial maupun nasional fungsi dan status Grondkaart tidak berubah karena dua hal :
- Objek masih tetap ada dan berstatus sama.
- Grondkaart merupakan produk hukum yang disahkan dengan dasar hukum makro dan mikro.
Dasar hukum Grondkaart terdiri atas sejumlah peraturan yang dibuat oleh pemerintah masa itu berdasarkan perkembangan peraturan hukum yang terkait dengan tanah negara. Ini diawali dengan diterbitkannya surat keputusan pemerintah besluit (surat keputusan) No.8 tanggal 19 Januari 1864 yang menghasilkan status tanah pemerintah (gouvernements grond).
Status ini merujuk pada tanah yang sudah dibebaskan oleh pemerintah dan diukur serta dibuat surat resmi oleh Kadaster (BPN jaman kolonial) sebagai milik pemerintah. Dengan demikian status tanah pemerintah ini sudah baku menjadi hak milik pemerintah, lengkap dengan surat ukurnya dan nomor Kadaster-nya. Status ini berbeda dengan tanah negara bebas (vrige staatsdomain) yang muncul dalam Undang Undang Agraria (agrarische wet) tahun 1870 (Staatsblad 1870 No. 55).
Tanah pemerintah digunakan untuk kepentingan langsung pemerintah termasuk badan usahanya atau lembaga swasta yang memiliki hubungan kepentingan dan hubungan hukum dengan pemerintah.
Perusahaan kereta api menjadi badan usaha sekaligus badan hukum yang memiliki hubungan kepentingan erat dengan pemerintah. Perusahaan kereta api di era kolonial terdiri atas perusahaan kereta api negara (Staatspoor) dan perusahaan kereta api swasta.
Perusahaan kereta api negara menggunakan tanah pemerintah atau yang dibebaskan oleh pemerintah berdasarkan Besluit No.16 tanggal 9 Oktober 1875, sementara perusahaan kereta api swasta melalui hak konsesinya menggunakan tanah pemerintah berdasarkan Staatsblad 1866 No.132.
Terkait dengan hal tersebut diatas pemerintah menerbitkan suatu bukti kepemilikan atas lahan tersebut yang digunakan oleh perusahaan kereta api dalam bentuk Grondkaart. Sesuai dengan fungsi sebagai alas bukti, pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengesahkan proses pembuatan Grondkaart oleh pihak-pihak yang terkait.