Gempuran iklan pinjol dari berbagai platform membanjiri media massa dan sosmed dalam 2 tahun ini. Gilak itu seperti ekstasi yang membuat banyak rekan kerjaku terjerat untuk mendaftarkan namanya di platform tersebut.
Mulai dari yang coba - coba iseng berhadiah, sampai ada yang menjadikan hobi bulanan untuk menambah pemasukan. Semua dilakukan untuk memenuhi syahwat keduniawiannya mencapai banyak hal dengan cara yang instant.
"Salah gak sih?"
Sah - sah saja toh itu hak pribadi masing - masing untuk menikmati kehidupannya.
"Terus salahnya dimana?"
Di sini permasalahannya, siapa yang enak? Siapa yang menanggung teror? HRD kami sangat kenyang di telpon dan di maki - maki atas hal - hal konyol yang tidak mereka lakukan.
Satu, dua kali OK masih termaafkan, untuk kesekian kali peraturan lah yang berbicara menertibkan penyakit kronis itu.
Jika ada yang main pinjol, telat bayar dan HRD di teror, surat teguran siap melayang sampai pemberhentian dengan persetujuan.
Cara keras tersebut dilakukan untuk membuat karyawan bertanggung jawab dan memenuhi kewajibannya tepat sesuai perjanjian.
Tapi apa daya, sudah kadung masuk kubangan pinjol dan terus menumpuk bungannya membuat kondisi semakin kritis.
Dampak buruk dari nestapa pinjol tidak terbayar adalah menurunnya gairah dan performa kerja di lingkungan kerja. Produktivitas di pertaruhkan karena boro - boro kerja bener, masuk gerbang pabrik pikiran sudah melayang - layang.