Lihat ke Halaman Asli

PR Bukan Sekadar Mengundang Wartawan!

Diperbarui: 6 Juli 2015   15:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul buku ini mungkin terkesan provokatif. Namun sejujurnya, ini berawal dari keprihatinan saya melihat tugas dan fungsi PR (public relation) yang terkesan disederhanakan. Ada kerancuan cara berfikir tentang PR sehingga eksekusinya pun menjadi sepotong-potong. Wajar saja jika dampak yang dihasilkan pun tidak maksimal.

Mari kita mulai dari dari satu bidang yang umum kita jumpai yakni External Communications (EC). Sesuai dengan julukannya, salah satu tugas utama EC adalah membina dan mengelola publikasi di media massa agar reputasi perusahaan dapat semakin meningkat. Dengan lingkup pekerjaan yang kental bersentuhan dengan dunia jurnalistik itu, maka peran EC khususnya dalam mengelola media relations  dirasa sangat penting.

Buku PR Bukan Sekedar Mengundang Wartawan menyajikan pendekatan PR secara membumi khas Indonesia

Karenanya para punggawa EC terbiasa dengan beragam kegiatan yang berkaitan dengan tugas-tugas jurnalistik. Seperti konferensi pers, mempersiapkan wawancara dengan narasumber, mengkliping berita-berita, membuat press release,  memantau conversation di media sosial dan lainnya. Selain kemampuan teknis, praktisi EC juga dituntut untuk mengembangkan soft skill, yang berguna dalam menjaring dan membangun relasi dengan banyak media atau jurnalis secara langsung (one on one).

Jika kemampuan teknis dapat dipelajari, tidak demikian dengan soft skill. Pasalnya, tak jarang, awak PR khususnya EC harus menyediakan waktu lebih di luar jam kerja kantor hanya untuk menemani atau menjamu rekan-rekan jurnalis di sebuah café atau tempat hiburan hingga larut malam.

Memang adagium ‘tak kenal maka tak sayang’ juga berlaku di rimba media. Sehingga melayani rekan media adalah salah satu tugas (tak resmi) tim EC menjalin kedekatan. Dengan relationship yang terbangun secara personal, perusahaan kelak diuntungkan. Misalnya, pada saat perusahaan dihadapkan pada crisis management. Pemberitaan yang disajikan oleh media-media menjadi lebih balance. Dalam arti, yang merugikan dapat diredam atau dikurangi, sehingga tidak menurunkan reputasi perusahaan.

Dengan lingkup pekerjaan yang beragam dan memiliki impact yang sangat besar bagi reputasi perusahaan, membuat media relation terkesan menjadi ruh dari pekerjaan dari PR. Bahkan saking dominannya, dibanyak perusahaan persepsi ini sudah begitu kuat mengakar. Sayangnya, meminjam istilah pendiri MURI (Museum Rekor Indonesia) Jaya Suprana, “kelirumologi” ini berkembang menjadi virus yang malah menyederhanakan PR menjadi sekedar media relations.  Mengundang “segerombolan” wartawan untuk sebuah konferensi pers atau media briefing dianggap sudah merupakan pekerjaan utama seorang praktisi PR.

Padahal sebagai bagian dari strategic tools, PR memiliki dimensi yang sangat luas bagi perusahaan. Seorang praktisi PR dituntut tak hanya cakap menjalankan permintaan atasan atau sekedar men-suport konferensi pers yang diminta oleh divisi lain seperti marketing atau CSR misalnya, namun seabreg kegiatan yang menantang, seperti Analyst Relation, Public Advocacy, Internal Communication, Media Training, CEO communication, Public Affairs, Crisis Communication, Issues Management, Community Outreach, juga Symposium, Seminar atau Workshop.

Mengacu kepada fungsi-fungsi di atas, jelas PR bukan lagi sekedar aktifitas sampingan.  Paradigma lama yang kerap mempersepsikan bahwa PR hanya aktifitas pelengkap, selayaknya harus dibuang jauh-jauh. Begitu strategisnya PR bagi pembentukan citra perusahaan sekaligus alat membangun kepercayaan pelanggan, maka jelas bidang ini memerlukan segi perencanaan yang matang. Sama halnya dengan aktifitas periklanan yang melakukan “komunisuasi”, yaitu gabungan antara komunikasi dan membujuk (persuasive) baik bagi khalayak khusus (significant public) maupun stake holder lainnya.

Momentum Kebangkitan

Terlepas dari persoalan mendasar seperti yang tersaji diatas, dunia PR di Indonesia sesungguhnya belakangan semakin menggeliat. Hal ini menunjukan kesadaran bahwa PR bukan lagi ad hoc melainkan sudah strategis. Indikasinya, PR sudah menjadi departemen tersendiri tak lagi menjadi sub departemen seperti sebelumnya. Di banyak perusahaan, malah ada yang sudah setingkat divisi dan dikepalai oleh seorang VP (Vice President). Bahkan di perusahaan sebesar Lion Air, Sinar Mas Group dan Unilever, peran PR dan komunikasi dipegang pimpinan selevel direksi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline