[caption id="attachment_320322" align="aligncenter" width="491" caption="Advertorial adalah bentuk lain dari iklan. Sesuai fungsinya yang lebih dekat ke Marketing Communication, seharusnya praktisi PR tidak mengandalkan pariwara untuk menyampaikan pesan ke masyarakat. (Sumber : d4my.wordpress.com)"][/caption]
Dua BUMN terbesar di Indonesia, yakni PGN dan Telkom telah melaporkan kinerja yang diraih sepanjang 2013. Performa gemilang yang mereka raih, dapat kita simak melalui advertorial di Detikcom, yang ditayangkan pada akhir Maret dan awal April 2014.
Selama beberapa hari, dua advertorial milik PGN dan Telkom itu terus ‘nangkring’ di halaman utama (main page), tanpa harus bersaing dengan berita-berita lain yang murni tayang tanpa pesanan.
Memang dibandingkan BUMN lainnya, PGN dan Telkom terbilang rajin membuat advertorial sebagai sarana publikasi. PGN misalnya, sebelum pariwara teranyar diatas, juga pernah menampilkan sejumlah artikel advertorial di media yang sama sejak 2012. Diantaranya ; PGN Bangun Rumah Sehat di Sidoarjo, Dukung Konversi BBM ke BBG, PGN Operasikan SPBG Pertama di Bekasi, dan RUPS PGN Tetapkan Dividen Tahun 2013 sebesar Rp 5,1 triliun.
Sementara dalam kurun yang sama dengan PGN, jejak advertorial Telkom di Detikcom lebih banyak lagi. Kita dapat menelusuri lewat sejumlah artikel diantaranya ; Mahakarya Telkom Untuk Indonesia, Direktur Utama Telkom Arief Yahya Raih Penghargaan 'Marketeer of the Year' 2013, Pemenang Lomba Telkom Mahakarya Jurnalistik & Blog 2013, Sukseskan KTT APEC di Bali TELKOM Hadirkan Solusi ICT Kelas Dunia, Delegasi Dan Peserta Konferensi APEC 2013 Puji Kualitas Infrastruktur ICT Telkom, Paradox Marketing: Resep Sukses Dari Arief Yahya Untuk Telkom, dan Dirut Telkom Dinobatkan Sebagai Best CEO Strategi Korporasi.
Getolnya PGN dan Telkom meluncurkan advertorial, sepertinya mengikuti jejak BCA yang sudah lama menjadikan Detikcom sebagai media penyampai pesan promosi berbentuk artikel itu. BCA kerap menampilkan beragam jenispariwara dari info product, services, teknologi,hingga edukasi konsumen.
Kebijakan Detikcom yang memberikan ekslusifitas, yakni advertorial dapat tayang berhari-hari di posisi teratas pada halaman utama, membuat biaya besar yang dikeluarkan oleh korporasi seperti Telkom, PGN dan BCA itu bukan hambatan. Sebab, peluang untuk diakses oleh pembaca cukup besar. Sehingga target message yang ingin disampaikan dapat tercapai.
Detikcom sendiri tampaknya tidak terlalu peduli jika advertorial tersebut bercampur dengan timeline berita lain dan berpotensi mengganggu kenyamanan pembaca. Bahkan pada tayangan (11/11/2011), media online milik taipan Chairul Tanjung ini, nekat menampilkan dua buah berita advertorial yang tak beranjak dari urutan kedua dan ketiga. Satu advertorial tentang Indosat dan satu lainnya bercerita tentang Hatta Rajasa. Untuk berita urutan kedua, malah sudah di booking oleh Menko Perekonomiaan itu sejak lama.
Ketidaknyamanan memang merupakan harga yang harus dibayar oleh sebagian pembaca saat mengakses media seperti Detikcom. Pasalnya, bagi pembaca advertorial adalah tetap advertorial. Meski dibuat artikel sedemikian rupa, advertorial adalah iklan dalam bentuk berita yang memuat sisi positif dari subyek yang diangkat. Pilihannya, akhirnya terpulang kepada pembaca bersangkutan, ingin mengakses atau mengabaikannya.
Sumber Revenue
Keberadaan advertorial memang terbilang unik. Ia hadir untuk mensiasati kejenuhan pembaca terhadap iklan-iklan konvensional yang lebih mengesankan menggurui calon konsumen. Sebab itu, sesungguhnya tak mudah menyusun pariwara. Meski sejalan dengan prinsip jurnalistik, yakni 5W+ 1 H, namun ia harus dibuat semenarik mungkin sehingga mampu membangkitkan animo pembaca.
Disinilah tantangan bagi penyusun artikel pariwara. Tetap mengusung azas positive thinking, namun tidak membuat tulisan yang superlative. Pada akhirnya, tulisan advertorial yang bagus, kerap membuat pembaca sulit membedakan dengan berita pada umumnya, meski sudah ada embel-embel advertorial diatas artikel.
Tak dapat dipungkiri, kehadiran advertorial membawa berkah bagi pengelola media. Ditengah ketatnya persaingan memperoleh kue iklan, advertorial dapat menjadi sumber pemasukan dari pihak ketiga. Padahal, pada awalnya pariwara merupakan bentuk services pengelola media kepada para stake holder, terutama perusahaan-perusahaan yang menjadi mitra usaha.
Itu sebabnya, di sejumlah media masa, kini terdapat bagian atau departemen yang khusus mengelola advertorial. Departemen ini umumnya berada dibawah divisi usaha atau pemimpin perusahaan. Namun tak jarang,ia menjadi bagian dari tim redaksi dibawah arahan khusus Pemimpin Redaksi.
Namun agar tidak sumir dan sejalan dengan etika jurnalistik, produk advertorial dapat dilihat dari kolom atau halaman khusus dengan tajuk tersendiri. Pengelola media biasanya memberi julukan dengan berbagai nama seperti Infotorial, Society, Beritatorial, Advertorial, Market Info, Iklan, Info Bisnis, Advertising, Kolom Bisnis, dan lain sebagainya. Meski mungkin ada juga yang ‘nakal’, tidak mencantumkan embel-embel itu sama sekali.
Saat ini sedikitnya kita mengenal empat jenis advertorial, yakni advertorial produk, advertorial jasa, advertorial korporat (perusahaan), dan advertorial pemerintahan. Dua jenis pertama yakni produk dan jasa, cukup kental dengan bau iklan. Namun untuk advertorial korporat dan pemerintahan, terkadang pembaca tidak menyadari bahwa artikel yang diangkat merupakan iklan terselubung. Apalagi jika tampilan desainnya tidak dibedakan dengan artikel biasa.
Entah karena merasa efektif atau memang memiliki sumber dana yang memadai, belakangan jenis advertorial korporat dan pemerintahan semakin diminati. advertorial ini memang menjadi jembatan bagi humas-humas yang ingin melakukan publikasi, namun tak ingin sekedar iklan display tentang corporate image yang umumnya kaku dan tak banyak bercerita. Derasnya advertorial korporat atau pemerintahan, dapat dilihat pada sejumlah majalah terkemuka, seperti Tempo, Info Bank, Warta Ekonomi, National Geographic, BUMN Track dan lainnya.
Lagi-lagi umumnya pemesan advertorial korporat adalah BUMN yang ingin berbagi cerita sukses, seperti yang dilakukan PGN dan Telkom di awal artikel ini. Sementara advertorial pemerintahan, lazim diisi oleh pemerintah daerah, lembaga pemerintah/non pemerintah, atau kementerianyang ingin publik mengetahui success story dalam bidang-bidang yang menjadi tugas dan tanggung jawab mereka. Tak jarang, untuk melengkapi paparan, advertorial juga memajang foto narsis para top management, seperti BOD (board of director) atau pemimpin puncak di lembaga bersangkutan.
Polemik Advertorial
Dengan target yang ingin dicapai, sejatinya advertorial telah memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak, yakni pemberi jasa dan pengelola media dalam memberikan informasi kepada publik dengan nuansa berbeda. Namun, sayangnya jika mau jujur, belakangan advertorial telah menimbulkan polemik, baik dari sisi pembaca, pengelola media, maupun humas/PR yang memesan advertorial tersebut.
Dari sisi pembaca, pariwara sedikit banyak telah menimbulkan antipati. Ketidaksukaan pada iklan, menyebabkan artikel yang ditampilkan dalam sebuah advertorial juga menular. Jika dalam media online, pembaca punya kuasa penuh untuk tidak mengakses sebuah advertorial, berbeda halnya dengan media cetak seperti koran atau majalah. Karena telah mengeluarkan biaya untuk membeli exemplar tersebut, pembaca tentu kecewa jika porsi advertorial cukup banyak.Apalagi jika advertorial yang ditampilkan tidak sesuai dengan kebutuhan pembaca.
Dari sisi pengelola media, advertorial telah menjadi salah satu pemicu konflik kepentingan (conflict of interest), khususnya antara dua divisi, yakni iklan dan redaksi. Untuk meredam konflik, pada umumnya pengelola media sengaja membentuk bagian yang bertugas menangani advertorial seperti business development.
Meski demikian konflik tak selalu usai. Pasalnya, seringkali masalah muncul ketika departemen ini memerlukan penulis pariwara namun tidak ingin mengeluarkan biaya atau biaya yang dikeluarkan dirasa tak sebanding oleh tim redaksi. Tentu saja, wartawan yang ditugaskan menjadi ogah-ogahan, bahkan berani menolak, meski itu adalah instruksi langsung dari pimpinan. Karena advertorial bagi wartawan bukanlah pekerjaan atau tujuan jurnalistik.
Disisi lain, karena menyangkut iklan, lazimnya advertorial menjadi tanggung jawab account executive.Namun karena dianggap lebih dekat dengan nara sumber atau pimpinan perusahaan, pada prakteknya sejumlah pengelola media, termasuk media-media besar tertentu (tak perlu saya sebut namanya), memberikan keleluasaan kepada wartawannya untuk menggaet advertorial demi mencapai target pendapatan perusahaan.
Alhasil,advertorial pada akhirnya telah menjadi sumber pemasukan lain dari wartawan. Tentu saja ini adalah hal yang ironis. Karena jika sudah menyangkut “fulus’” akan berdampak pada obyektifitas sang wartawan dan media bersangkutan, apalagi bila isu yang diangkat bersinggungan dengan perusahaan yang menampilkan advertorial.
Sedangkan bagi pihak yang memesan advertorial yakni perusahaan, tanpa disadari advertorial telah mengkerdilkan fungsi-fungsi PR. Pasalnya, umumnya advertorial juga melibatkan PR sebagai divisi/departemen yang bertanggung jawab dalam hal content to share. Sejatinya, jika fungsi-fungsi PR berjalan dengan baik, khususnya media relation, perusahaan akan memperoleh manfaat yang luar biasa, terutama free publication. Namun yang terjadi, perusahaan lebih memilih jalan pintas.
Selain harus mengeluarkan biaya tidak sedikit, pembuatan advertorial sesungguhnya tidak memberikan tantangan kepada praktisi PR untuk merancang program publikasi. Wajar jika mereka terlihat tumpul karena advertorial telah memanjakan mereka.
Ironisnya, terlepas dari motif lain, gencarnya advertorial justru dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar yang seharusnya memiliki program PR yang mumpuni dan elegan. Padahal, dengan merancang program PR yang memiliki dampak publikasi yang luas, seharusnya praktisi PR tak harus khawatir terhadap kurangnya pemberitaan positif. Apalagi jika mereka tidak kekurangan sumber daya yang dimiliki.
Tampaknya bagi top management dan praktisi PR, perlu dibangun paradigma bahwa advertorial berbentuk berita merupakan pilihan terakhir, bukan menjadi keharusan atau kebiasaan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H