Lihat ke Halaman Asli

Jejak Sukses Asrorun Niam Sholeh di KPAI

Diperbarui: 4 Agustus 2017   06:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sekian persen sel otak Niam adalah sel otak akademisi. Wajar, karena dia orang kampus. Wawasannya kompleks. Keberaniannya membangun spekulasi pun ditopang argumentasi dalam takaran memadai.

Sekian persen sel otak Niam lainnya berakrobat laksana sel otak politisi. Dia tidak hanya mahir memaparkan gagasan, tapi juga lincah menangkis serangan. Bahkan menyerang balik lawan bicaranya. Artikulasi Niam sedemikian rupa terlihat, misalnya, ketika dia berada di ruang rapat Komisi 8 DPR RI. Cara kerja sel-sel otak Niam itu boleh jadi merupakan akibat langsung dari pengalamannya sekian lama duduk di belakang barisan pimpinan Komisi DPR yang mengurusi--antara lain--perlindungan anak, sebagai tenaga ahli di sana.

Selebihnya, mirip jamaah berthawaf, sejauh apa pun terpantul ke sana-sini sel-sel otak Niam tetap berputar berporoskan kiblat. Dalam isu apa pun, kalau kita cermati, warna keislaman tak pernah tanggal dari pemikirannya. Bahkan jangankan saat Niam berbicara. Ketika dia diam sekali pun, saya tidak menemukan kalimat lain kecuali bahwa ekspresi wajahnya sudah mengesankan NU sekali.

Mekanisme kerja sel otak ala kyai itu justru sangat dibutuhkan. Apa pasal?

Blak-blakan saja; saya menangkap ada kalangan di kancah perlindungan anak yang tempo-tempo melakukan manuver yang justru bertolak belakang dengan kepentingan anak. Dalam isu pelarangan minuman keras, misalnya. Pihak-pihak tersebut berkampanye bahwa alkohol bukan penyebab aksi-aksi kejahatan--termasuk kejahatan seksual--terhadap anak. Padahal, sudah banyak anak-anak yang cedera parah bahkan mati mengenaskan di tangan pelaku yang menenggak minuman keras. Juga ada bertimbun-timbun hasil studi di dunia yang memastikan minuman keras sebagai faktor di balik banyaknya tindakan memviktimisasi anak.

Niam tidak beringsut sedikit pun. Betapa pun dia sekian kali digugat di ruang publik, Niam tetap kumandangkan ketegasannya bahwa minuman keras adalah penyebab nyata--tentu bukan satu-satunya--orang-orang menampilkan perilaku biadab terhadap anak-anak. Atas dasar itulah, pungkas Niam, pelarangan minuman keras perlu dikedepankan dalam produk-produk kebijakan.

Begitu pula dalam masalah lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Mudah dibaca, ada kelompok-kelompok yang secara terorganisasi membangun opini bahwa LGBT bukan penyimpangan seksual. Narasi yang mereka ciptakan apalagi kalau bukan hak azasi manusia, cinta kasih, kesetaraan, toleransi, dan sejenisnya.

Niam, sambil menampakkan senyum dari balik misainya, tidak berkisar sejari pun. LGBT adalah kelainan seksual, demikian kunci Niam. Bahkan dalam sebuah obrolan, kami bersepakat bahwa kampanye LGBT yang diarahkan ke anak-anak merupakan bentuk kekerasan psikis dan seksual. Anak-anak harus dilindungi dari kekerasan tersebut. Itu berarti, individu-individu yang melakukan kampanye semacam itu patut dipandang sebagai pelaku kekerasan terhadap anak. Dan kepada mereka, para pelaku itu, sudah seharusnya diberikan ganjaran hukum.

Isu minuman keras dan LGBT di atas merupakan contoh adanya anasir-anasir ideologis yang secara nyata turut bermain di arena perlindungan anak. Alhasil, terlalu naif sesungguhnya apabila dipandang bahwa seluruh aktivis perlindungan anak bekerja semurni-murninya, setulus-tulusnya, semata-mata demi kepentingan anak itu sendiri. Niscaya ada kepentingan yang melawan arus. Yaitu, mereka yang bertolak belakang dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, serta memunggungi nilai-nilai luhur Pancasila dan pasal 28J ayat 2 Undang-Undang Hak Asasi Manusia.

Untuk melawan anasir-anasir kontra-perlindungan anak tersebut jelas dibutuhkan petarung dengan amunisi komplit. Petarung yang bekerja dengan akal, hati, dan tangannya. Petarung yang argumentatif secara akademis, ligat bak politisi, berpendirian militan, namun tetap hangat menjalin pertemanan. Petarung yang memulai kerja besarnya dengan membongkar habis sindrom rendah diri kronis massal yang berlindung di balik dalih "silent majority" dan "silent is gold".

Ke depan, menjadi tugas pengganti Niam untuk menjadi dirijen yang lebih sanggam lagi memimpin orkestra KPAI. Biola, cello, piano, dan harpa punya partiturnya masing-masing. Tapi selama para pemainnya bergerak padu mengikuti tongkat dirijen, nada-nada yang keluar dari seluruh instrumen itu akan berhimpun harmonis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline