Lihat ke Halaman Asli

Yusuf Maulana

Yusuf Maulana Al Ghoni

Review Film "Bumi Manusia"

Diperbarui: 26 Agustus 2019   00:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Review Film : "Bumi Mannusia"

Oleh : Yusuf Maulana Al Ghoni

Assalamu'alaikum wr.wb

Kali ini saya akan me-review film yang diangkat atau di adaptasi dari karya besar novel Pramoedya Ananta Toer yaitu "Bumi Manusia" yang sudah tayang di bioskop-bioskop Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Film ini ditayangkan pada tanggal 15 Agustus 2019 yang berdekatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia, walaupun saya sudah menyaksikan film ini lebih dari satu kali di bioskop, tetapi tetap saja membuat saya terkesan.                          

Film ini di garap oleh sutradara kondang yaitu Hanung Bramantyo yang seringkali menggarap sebuah film yang berbau biografi tokoh-tokoh bersejarah seperti diantaranya ada film Sang Pencerah, Sultan Agung, dan Soekarno.

Menurut saya karya film Hanung Bramantyo yang satu ini adalah sebuah gebrakan baru dalam industri perfilman yang berlatar zaman kolonial Belanda di Indonesia. Film ini cukup berhasil menampilkan latar pada zaman colonial Belanda yang begitu autentik dengan menghadirkan banyak pemeran asli orang Belanda serta CGI yang menampilkan hiruk pikuk kapal perdagangan Belanda di zaman itu.

Pada awal pemutaran film ini, saya sudah di buat berdiri tegak karena memutar lagu Kebangsaan Indonesia " Indonesia Tanah Air ku ", Jiwa nasionalisme saya begitu terpanggil ketika di layar muncul teks untuk mengharapkan para penonton berdiri sebagai bentuk penghormatan terhadap bendera Merah Putih.

Film ini berlatar belakang zaman kolonial Belanda awal abad 20, menceritakan seorang pemuda asli Pribumi  bernama 'Minke' yang tinggal di tanah Jawa yaitu kota Soerabajaa yang sekarang di kenal dengan nama kota Surabaya. Minke sendiri memiliki nama asli 'Raden Mas Tirto Adhi Soerjo' yang merupakan anak dari Bupati Blora, Jawa Tengah, Asal usul nama 'Minke' berawal dari ejekan untuk diri nya saat kecil yang seringkali di panggil 'Monkey' yang kemudian dia plesetkan menjadi 'Minke', Kalimat itu sendiri sebenarnya adalah ejekan dari Belanda totok sering juga ditujukan kepada seorang Pribumi yang berarti Monyet.             

Minke menetap di Soerabajaa untuk melanjutkan Pendidikan nya ke taraf pelajar menengah ke atas ( SMA ) di sekolah yang bukan sembarang sekolah yaitu HBS "Hogere Burger School ". HBS adalah sekolah tingkat Eropa yang tidak bisa di masuki oleh sembarang orang, Siswa/Siswi nya berasal dari kalangan kelas sosial atas seperti anak Belanda totok, anak Bangsawan.

Di sekolah, Minke menjadi minoritas di antara anak-anak Belanda dan anak campuran Indo-Belanda karena statusnya yang peibumi kerap kali membuat dia diperlakukan tidak adil, Namun, Minke tak pernah menyerah. Tujuan Minke di sekolahkan di HBS  oleh ayah nya, agar Minke mengetahui banyak hal yang tidak di ketahui oleh Pribumi.  

Minke senang sekali menulis, ia memiliki Forum Bangsawan sendiri di Blora, selama Minke menulis karyanya ia menggunakan nama samaran untuk tulisan nya sendiri dengan nama Max Tollenar . Minke lebih memilih menjadi Penulis ketimbang meneruskan jabatan ayah nya sebagai Bupati karena ia ingin menjadi manusia bebas yang kehidupan nya bukan merupakan hadiah atau warisan dari pejabat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline