Lihat ke Halaman Asli

Nasi Jagung

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Senang sekali hari ini cerah ceria. Udara terasa hangat dan cucian bisa kering. Setidaknya hari ini tidak harus ke luar dan pakai jaket, kostum yang dikenakan bisa sedikit bergaya dengan model dan warna yang bervariasi. Ojekers bisa mendulang rupiah lebih, setidaknya menutupi kerugian tak ojek selama dua hari hujan terus menerus turun..


Siang hari seperti ini enaknya makan apa ya? Terbayang beberapa pilihan yang bisa menerbitkan air liur. Jadilah, menu kami hari ini adalah lomak, ikan merah bumbu..daaannnn nasi jagung, tak lupa nggurus agu tomat! Isi piring makan jadinya berwarna warni. Setelah makan siang nenas dan pisang-oleh-oleh dari kampung masih dipaksakan memenuhi ruang lambung yang sebenarnya sudah penuh.


Kebetulan sekali ada dua orang Om (Om Frans dan Om Kos) juga sedang berkunjung ke rumah, kami pun makan bersama. Makan siang yang menyenangkan, selain karena lapar tapi juga banyak percakapan yang lucu dan menarik.


Mama tak henti-hentinya minta maaf kepada para Om karena harus ikut menyantap nasi jagung. Sebenarnya mereka tak mempersoalkan hal itu, permintaan maaf semacam itu hanya untuk kesopanan saja. Kami sih cuek-cuek saja, karena makan nasi jagung bukan lantaran tak punya beras tapi memang mama rindu untuk makan nasi jagung. Sebenarnya paling enak kalau jagungnya masih muda dan dicampur jenis beras roseline. Dijamin makan tak bersisa.


Ka pompi menyebutnya nasi Vatikan karena warnanya jadi putih kuning seperti bendera Vatikan. Dan mulailah obrolan seputar nasi jagung sebagai makanan wajib waktu masih di Seminari dulu. Berbagai kisah menarik lainnya yang juga sudah dibumbui oleh narator membuat kami terbahak-bahak. Tidak tau juga apakah benar yang terjadi demikian; namun di mana-mana banyak sebenarnya orang yang tak suka nasi jagung. Entah karena lidahnya tak cocok atau mungkin karena gengsi, nasi jagung memang sepertinya makanan kelas sangat ekonomi sekali.


Siapapun tak bisa dipaksakan seleranya. Namun syukurlah, keluarga kami tak banyak komplain kalau soal makanan dan tak pernah gengsi kalau menu yang ada sangat sederhana. Namun kadang kalau lama tak makan enak, lelucon sindiran sering beredar.


Ternyata cerita ka Pompy seputar nasi jagung di era Seminaris membuat salah satu Om akhirnya bercerita saat manggarai tertimpa kelaparan tahun 60-an. “latung ce nggo’o nganceng bagi lima le ende” sambil menngepalkan tangannya dia mengandaikan sebuah jagung dengan ukuran tongkol jagung sekepal dan panjang kira-kira 25 cm.


Kami mendengarkan sambil terus makan.


“Kalu kami dulu tu, bagi bulir jagung segenggam tiap orang, jagungnya keras lagi”, tambah Om dua dengan bahasa Indonesia berdialek manggarai.


“tapi tidak goreng, apalagi pake minyak...minyak dari mana? Arang yang masih merah diratakan pada perapian dan bulir jagung disebar di antara arang. Kalo su bunyi langsung angkat pake penjepit kecil dan dimakan”.


Mendengar itu saya kontan ketawa, bukannya karena mau menghina, cuma bayangkan...kalo bakar jagung yang sudah dilepas dari tongkolnya, harus cekatan dan tangkas.. bisa-bisa salah makan arang lagi.. tapi ternyata semua yang mendengar itu senyam senyum juga mungkin membayangkan hal yang sama, tapi bedanya saya tak bisa mengontrol ketawa hahahahahaha

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline