Lihat ke Halaman Asli

Uci Junaedi

SocialMedia

Perlunya Pencabutan Hak Politik Bagi Koruptor

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mencabut hak politisi PKS Luthfi Hasan Ishaaq sepertinya akan menjadi arah baru bagi terpidana kasus korupsi, karena keputusan ini diyakini akan bisa menimbulkan efek jera. Sebelumnya pencabutan hak politik itu ini telah dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta terhadap terpidana kasus korupsi Korlantas Polri, Irjen Djoko Susilo. apabila pencabutan hak politik ini menjadi arah baru bagi terpidana kasus korupsi, maka bisa diperkirakan hakim juga akan menjatuhkannya terhadap Anas Urbaningrum, Suryadarma Ali, dan beberapa tersangka korupsi lainnya.

Pencabutan hak politik ini pada dasarnya merupakan hukuman tambahan atas apa yang sudah ada. Dengan keputusan ini, maka terpidana kehilangan hak memilih dan dipilih selain menduduki jabatan publik. Penjelasan yang kita dengar mengenai dasar mengapa vonis tambahan tersebut dijatuhkan, karena hakim memandang terpidana telah menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai pejabat publik. Karena ini menimbulkan kesengsaraan luas dalam masyarakat. Adapun dasar hukum pencabutan hak politik tersebut terdapat dalam Pasal 10 KUHP. Demikian juga pada Pasal 18 Undang-Undang Tipikor Ayat 1 mengenai pidana tambahan, bisa berupa pencabutan seluruh atau sebagian hak tertentu.

Pertanyaannya adalah, apakah pencabutan hak tersebut melanggar hak asasi seseorang..?, banyak ahli hukum berpandangan bukan pelanggaran karena masuk dalam derogable right, hak yang bisa dilanggar dalam rangka penegakan hukum. Hak-hak yang bisa dicabut sesuai Pasal 35 Ayat (1) KUHP, adalah: (i) Hak memegang jabatan tertentu; (ii) Hak memasuki angkatan bersenjata; (iii) Hak memilih dan dipilih; (iv) Hak menjadi penasihat (raadsman), hak menjadi wali pengawas, pengampu atau pengawas atas orang yang bukan anak sendiri; (v) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwakilan atau pengampu atas anak sendiri; dan (vi) Hak menjalankan pekerjaan tertentu.

Pencabutan hak politik Luthfi Hasan Ishaaq disambut baik berbagai kalangan sebagai suatu keputusan yang tepat. Beberapa pihak bahkan mengusulkan agar pencabutan hak politik tersebut menjadi standar yang dikenakan terhadap para terpidana kasus korupsi sehingga benar-benar menimbulkan efek jera.

KPK juga mendorong pencabutan hak politik tersebut sebagai hukuman tambahan bagi koruptor. Melalui juru bicaranya, Johan Budi mengatakan, bahwa pencabutan hak politik itu dilakukan karena korupsi adalah kejahatan luar biasa yang menyengsarakan banyak orang. Pemberian hukuman tambahan yang dijatuhkan terhadap Luthfi Hasan Ishaq, dapat diharapkan bisa menjadi rujukan hukum (yurisprudensi) hakim-hakim pada tingkat peradilan di bawahnya.

Kita tentunya sependapat dengan KPK bahwa korupsi adalah sebagai kejahatan yang luar biasa menyengsarakan banyak orang. Maka dengan mengingat besarnya intensitas kejahatan korupsi, sekiranya diperlukan landasan hukum yang lebih kuat, seperti Undang-Undang, agar pencabutan hak politik bisa menjadi ancaman sah bagi para terpidana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline