Lihat ke Halaman Asli

Aroma Ini

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rasanya aroma ini pernah dekat denganku, pernah kusukai. Pernah kuinginkan dulu.
“ Kenapa Ris, kok berhenti? Masih jauh nih”
Ayon menegurku. Aku seperti orang bingung, mencoba mengumpulkan pecahan memoriku. Aroma ini benar- benar menarikku kemasa yang lain. Masa yang kusukai.
“ Kamu lapar?” Ayon bertanya lagi. Nada suaranya berubah prihatin.
“ Tidak”
“Kalau tidak, kenapa kamu berdiri disitu?”
Aku tersadar posisi berdiriku telah membuat beberapa orang yang sedang antri membeli sandwich kesulitan mencari tempat berdiri. Aku menghalangi mereka . Tak salah Ayon mengira aku akan membeli sandwich. Tapi, bukan aroma dari sandwich ini yang membuatku terpatung dari jalanku.
“ Ah.. ayo masuk, biar aku yang traktir” Ayon menarikku masuk ke dalam kedai sandwich. Mungkin dia benar- benar mengira aku lapar.
Kami membaur dalam antrian yang cukup panjang. Kuperhatikan penjual sndwich yang kerepotan melayani pembeli. Seakan empat tangan dari keduanya masih belum mampu melayani pesanan yang menggila. Bahkan belum ada yang smpat menanyai kami atas pesanan apa yang kami inginkan.
“Yon, sudah aku gak lapar” Ayon menatapku sekilas, dan kembali menatap kesibukan penjual sandwich. Aku tahu, dia paling benci dengan antrian tak jelas seperti ini.
“Ya sudah, cari makan tempat lain saja yuk” Ayon mendahului keluar dari dari antrian, meneruskan perjalanan yang sempat tertunda tadi. Aku mengikuti dengan masih celingak- celinguk mencari sumber aroma yang membuatku memasuki dimensi lain itu. Seakan pernah akrab, tapi apa?
Di samping kedai sandwich itu, berdiri sebuah kedai lain (apakah itu masih bisa di sebut kedai?). Kedai itu hanya berdiri dengan 6 tiang reyot, dan atap hangus terbakat matahari. Memprihatinkan sekali. Semua serba suram. Ditambah suasana malam yang gemerlap, kedai kiri kanan yang juga serba gemerlap membuat kedai reyot ini tertelan kesuraman. Selintas tak akan ada yang menyangka kalau kedai itu masih berpenghuni.
Di dalam kedai doyong itu, seorang lelaki tua seperti sedang memasak sesuatu. Rapuh. Aku hanya sempat melongok sebentar sambil lalu melihat pengunjung kedainya. Cuma beberapa orang, dan sedikit ironis, kesemuanya tak jauh beda dengan kedai reyot ini. Tua.
Apa aroma itu berasal dari kedai itu? Aku membatin, sembari mengikuti Ayon yang terlihat makin tergesa, sepertinya dia tak menyadari ketinggalanku yang jauh dibelakangnya.
“ Deris..!” Ayon menghardik. Tergesa aku menghampirinya.
“ Sepertinya kamu benar- benar lapar ya..”
Aroma yang tadi menjeratku sudah terlepas, menjauh, mengembalikan kesadaranku kembali.
“ Ah, tidak, kenapa?”
“Woi, sekretaris BEM yang bijak, sekarang sudah jam berapa? Kita ini mau ke rumah cewek, bukan ke tempat cowok. Sadar waktu dikitlah..” Ayon ngomel.
“iya, iya…” kudahului langkahnya.
Sekilas masih sempat kulihat kedai memprihatinkan itu. Penerangan buram disana membuatku sedikit terenyuh, dan juga penasaran. Sepasang mata tua pemilik kedai itu seakan membalas tatapanku. Namun cuma sekilas kulihat. Karna aku harus buru- buru mnyelasaikan tugasku sebagai sekretaris Badan Eksekutif Mahasiswa sebuah PTN ternama.
Dalam hati aku berjanji akan singgah kekedai itu suatu saat. Tentu saja setelah menyelasaikan masalah yang kubuat. Laporan keuangan acara seminar dikampusku berhasil kuhilangkan. Dan semalam- malam ini aku diseret paksa oleh wakil BEM untuk menemukan laporan itu. Nah sedikit pencerahan, laporan itu terdengar berada dirumah salah satu mahasiswa yang kebetulan menemukannya. Dan kesanalah kami malam ini.
*******

Kedai itu terlihat sepi. Tak ada suara yang terdengar. Hanya aroma harum yang menyebar. Bersaing dengan aroma sandwich dan fried chickend dari kana-kirinya. Mungkin aroma itu telah mengalami kekalahan telak sajak beberapa tahun ini, terabaikan, teracuhkan. Orang yang lalu lalang tak sedikitpun melongok kedai usang itu. Aroma itu telah kalah.
Aku meberanikan diri masuk kekedai itu. Lelaki tua pemilik kedai menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Tatapan penuh harap, tatapan yang menyiratkan penentian yang terobati. Lelaki serba lusuh itu mempersilahkanku duduk kursi panjang menghadap meja yang juga memanjang. Mengingatkanku pada kedai kopi di kampungku dulu. Disini aroma harum itu kembali meninmbulkan perasan aneh, masih belum bisa kutebak perasaan apa itu. Ada sesuatu yang hilang dalam diriku yang perlahan kucoba temukan dari aroma ini. Sebongkah kenangan yang hilang. Dadaku sesak dengan perasaan ini. Aku tak kan lari. Kunikmati.
Tak lama lelaki lusuh itu datang kemejaku. Meletakkan semangkuk makanan yang membuatku melayang pada masa 19 tahun yang lalu. Ini kue yang dulu pernah membuatku menagis semalaman karena jatahku dimakan abangku. Abang kesayanganku. Kue ini yang membuat bapak melempar sepiring nasi kemukanya. Ya kue ini. Kue yang tak lagi kutahu namanya ini menusukku dengan kenangan hebat.
Aku hanya memandang mangkuk berisi kue putih itu dengan tatapan perih. Aroma gula kelapa menusuk hatiku lebih dalam. Kue berbentuk bulat pipih berserabut parutan kelapa itu membasuh kabut yang membungkus ingatan.
Ya, tentu saja aroma ini sangat dekat denganku. Ini adalah kue yang selalu di buat ibu untukku. Setiap akhir pekan ibu akan selalu menyediakannya untukku dan abang. Kue yang dibuat dengan cinta tulus. Kasih tak bercela. Ini lah lambang ikatan kami. Bapak akan tersenyum senang melihatku dan abang berlomba menghabiskan kue- kue itu. Ibu dengan setia menambah kue di mangkuk kami jika kami ingin tambah lagi. Tak ada tempat untuk kesedihan dan kedinginan. Semua hangat, hangat oleh kasih sayang ibu dan bapak.
Beberapa orang kurasakan memasuki kedai. Aku tergeragap. Menyadari lagi keberadaanku. Kue putih itu masih belum berubah bentuk dan letaknya. Kulihat bapak tua pemilik kedai kembali membuatkan kue itu untuk yang datang. Tampak tenang, ikhlas dan ada pancaran lain dimatanya. Pancaran cinta. Kasih tampa cela. Ada sakit menghujam dadaku. Ada luka yang saat ini mencuat dahatiku. Harus kukeluarkan.
Buru-buru aku keluar. Meletakkan uang di meja. Namun langkahku terhenti saat suara lemah pemilik kedai itu menahanku.
“Tunggu dulu nak..” Pak tua itu cepat- cepat kemejaku tadi. Memasukan kue yang belum kusentuh itu kedalam kantong plastik sederhana, mengambil beberapa lembar uang yang sempat kutinggalkan tadi dan mendakat padaku.
“ Bawalah pulang jika kau tak ada waktu memakannya disini. Cobalah. Ini enak sekali “ katanya tetatih tatih mengulurkan bungkusan itu. Aku menerima dengan enggan. “ Dan ini uang kembaliannya, harga kue ini tak sampai sebanyak itu” lagi, tangan kurus itu diangsurkan padaku. Kuterima tampa banyak cincong. Saat ini aku hanya ingin pergi secepatnya.
Sebelum aku beranjak, masih sempat kudengar sura pak tua lusuh itu.
"Sering- seringlah mampir kesini anak muda”
Aku berjalan menyusuri malam. Hingga terperangah sendiri ditaman kota yang lengang. Aku bersandar, tampa sadar cairan bening mengalir pelan dari mataku. Tidak. Aku tak kan lari lagi. Biar aroma kue yang saat ini kugenggam menyeret kembali kenangan yang dari dulu kuenyahkan, kupungkiri, kuhilangkan, hingga menjadi fatamorgana, halusinasi dan mimpi buruk yang menderaku selama ini.
Peristiwa itu. 18 tahun yang lalu.
Pagi akhir pekan itu masih seperti pagi akhir pekan sebelumnya. Kue itu kembali terhidang diatas meja. Aku dan abang berlomba menghabiskan kue dipiring kami. Umurku bru 6 tahun, abang 9 tahun. Bapak duduk ditempat biasa,ibu didapur entah sedang apa. Tiba- tiba abang mengambil jatahku, memakannya dengan lahap. Aku menangis sekeras-kerasnya, sedangkan abang terus menggoda. Hal yang biasa harusnya, namun bapak tiba- tiba saja berdiri dan melempar nasi yang sedang bapak makan kemuka abang. Abang terkejut. Aku sontak terdiam. Takut. bapak maju tampa ampun menampar abang dengan keras.
“ Dasar anak nakal” umpat bapak kasar. abang terdorong dan jatuh bersandar kedindng, aku terpatung dikursiku. “ kau ingin selalu melihat adikmu menangis hah?”
Abang terisak, menatapku yang pucat pasi dengan tangan memegang piring yang telah kosong. Air mataku coreng moreng. Sungguh waktu itu aku tak menagis karna kueku, tapi karna melihat abang yang di pukul bapak. Baru sekali itu kami melihat bapak seperti itu.
Ibu keluar dari dapur terpekik kecil. Menghampiri abang yang tersudut didinding.
“ Bapak, istifar. Jangan bawa masalah itu kerumah” ibu menenangkan.
Tiba- tiba saja abang melapskan diri dari pelukan ibu, berlari keluar rumah. Ibu berusaha mencegah namun abang telah jauh pergi. Melintasi jalan dan hilang disela- sela rumah penduduk seberang jalan. Ibu terus berusa mengapai abang dan melintasi jalan dengan berlari, namun sebuah bus melaju kencang. Ibu terpelanting jatuh keaspal. Aku melihat semua. Aku melihat tubuh ibu melayang, dari tempat dudukku melalui jendela yang terbuka. Aku melihat bapak berteriak dan mengejar tubuh ibu. Namun aku tak beranjak dari kursiku. Hanya air mataku yang mengalir makin deras. Aku terisak dalam.
Siang yang pilu. Ibu terbujur kaku padahal hanya berselang beberapa jam yang lalu kulihat ibu masih tersenyum senang melayani permintaan jatah kueku. Hujan mengguyur komplek perumahan kami. Aku terpatung. Berdiri sejauh mungkin dengan piring kue kosong yang masih kugenggam erat. Sedangkan disudut sana bapak terisak seperti anak kecil. Menangis, meraung dan meratap. Ucapan ma’af itu terdengar sepekat dingin dari mulutnya.
Pelayat berdatangan. Keramaian menandai sepi merambati tiap jengkal rumah sedarhana kami, tak kulihat abang dimanapun. Tidak dimana pun. aku mulai merasa sendiri. Ibu tertidur panjang, bapak sibuk dengan dirinya sedangkan abang hilang entah kemana. Tak kulihat dia sejak kejadian tadi pagi. Mungkin belum pulang dari pelariannya.
Kala hujan semakin deras, isak tangis makin keras, dan orang orang makin ramai berdatangan, kulihat di ambang pintu. Dia. Abangku tersayang, berdiri dengan wajah tanpa ekspresi apapun. Basah kuyup, dengan sbuah bungkusan ditangannya. Dia hanya memandangi. Cuma mematung diluar sana. Sama sepertiku. Dan sebuah benci menguar dimataku. Ini karna kamu!
Kejadian itu merubah segalanya. Merebut tiap kata dari mulut abang. Menghancurkan kewarasan dalam diri bapak. Bapak masuk rumah sakit jiwa, aku dipungut kerabat dekat, begitupun abangku. Kami terpisah. Ingatan pahit itu meremukkan jantungku.
Sejak saat itu, kukubur semua ingatanku. Semuanya. Aku seakan jadi manusia baru. Kulupakan semuanya. Kulupakan abangku. Kulupakan bus di pagi akhir pekan itu. Kulupakan isak dan ratapan bapak disiang harinya.Termasuk kue ini. Sekaligus aroma dan rasanya.
Hubunganku dengan abang bisa dibiilang putus sama sekali setelah peristiwa itu. Pernah dulu beberapa kali dia datang mengunjungiku waktu aku masih sekolah. Namun kedatangannya selalu kkusambut dengan dingin. Dan selalu, setiap kali dia datang dia selalu membawakan bungkusan plastik padaku. Selalu memintaku untuk memakannya. Tapi,jangankan untuk memakannya, melihatnya pun aku enggan. Walau beberapa bulan sejak kejadian itu, kutahu jika peristiwa tragis itu bukanlah salah abang. Saat peristiwa itu, sebnarnya bapak sedang mengalami banyak masalah dalam pekerjaannya. Usaha bapak bangkrut, rumah dan kendaraan yang kami punya terancam kena sita. Begitu kalut beliau saat itu, hingga saat mendengar tangisku keluarlah tangis itu menjelma jadi sebuah kemarahan. Kemarahan tak wajar. Tapi kenapa waktu itu abang harus lari? Ini yang tak dapat kuterima.
Kenapa dia lari? Ingatanku berkelebat pada mata sendu dalam kuyup yang menatapku saat ibu terbujur. Dan sebuah bungkusan plastik yang digenggamnnya dengan erat. Apa itu? Karena itukah dia lari? Apa isi bungkusan plastik itu? Bukankah itu kantong plastik yang sama dengan yang dibawa pada saat mengunjungiku. Apa isinya?
Tergesa kukeluarkan HP-ku. menghubungi Mbok Darmi. Beliau adalah pembantu rumah bibiku. Tempat aku tinggal setelah keluargaku hancur. Mbok Darmilah yang dulu melihat dan memakan isi dari bungkusan-bungkusan plastik yang dibawa abang dulu. Sebuah percakapan singkat memojokkanku pada kebenaran menyesakkan. Seuntain kalimat lugu Mbok Darmi membuatku meleleh.
“ Isinya kue putih- putih itu lo Den”
Kue ini. kue ini yang membuat abang lari. Pasti abang bermaksud mengganti kue ku yang telah dimakannya. Sepotong kue yang membuatku menangis, sepotong kue yang membuat bapak marah dan sepotong kue yang membuat ibu.. pergi! Sepotong kueku dan aku. Aku.
Aku tersedu dengan bungkusan kue ditanganku. Ditengah sepinya taman kota ini. Sebuah rasa peduli meninggi melebihi tinggiku sendiri. Aku rindu kamu abangku. Dari dulu kusadari atau tidak. kamu tetap abang terbaikku.
Kutarik nafas panjang. Melapangkan dadaku yang sedikit sesak. Kulirik kantong plastik itu. Mengelurkan isinya. Kue ini. Apa ya namanya? Aku lupa. Hp ku berdering. Nomor yang kukenal. Nomor yang selalu kuhindari. Saatnya berhenti sekarang. Aku takkan lari lagi.
“ Halo..” suaraku tercekik.
“ Halo Deris..” terdengar senang.
“ Ya Bang, aku disini” akhirnya kami bicara. Hal yang seharusnya kulakukan dari 18 tahun yang lalu.
Aku terlepas. Beban itu terlepas. Kue putih itu kembali jadi saksi aku telah kembali. Aku mempunyai seorang abang. Abang tercinta. Angin malam menyaksikan kata ma’af yang terucap tulus. Rencana pertemuan yang menyenangkan, sampai rencana kerumah sakit jiwa untuk menemui bapak yang juga selama ini menjadi fatamorgana.
“ O ya Ris, jangan lupa bawa kue serabi ya”
“ eh, apa?”
“Kue serabi, bapak pasti senang”
Yap. Akhirnya kutahu namanya. Kue serabi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline