Lihat ke Halaman Asli

Konghuchu dan RUU PUB

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Pengakuan” kembali Konghucu sebagai agama dan adat istiadat Tionghoa  oleh negara melalui Keputusan Presiden Abdurrahman Wahid No 6 tahun 2000, diikuti dengan penetapan tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional oleh presiden berikutnya, Megawati Soekarnoputri. Kasus Konghucu dengan Imlek sebagai simpul budaya dan kepercayaan orang Tionghoa ini boleh dikatakan sebagai sebuah contoh keberhasilan (success story,) jika pengakuan negara atas agama itu dianggap sebagai sebuah prestasi. Karena masih banyak di negara yang berbhineka ini, agama dan kepercayaan yang masih berjuang dari keterpinggiran, merasa tak dianggap, tak dihargai dan dilupakan. Mereka, para penganut agama dan keprecayaan pinggiran itu merasa betapa ketidakadilan masih terjadi, ketika hak-hak sipil sebagai warga negara belum juga terpenuhi sebagaimana mestinya.

Role Model

Beberapa komunitas agama/kepercayaan mengambil Konghucu sebagai role model dalam upaya meraih status “diakui” itu, baik melalui pendekatan kultural maupun struktural. Secara kultural, sebelum pemimpin Orde baru, Suharto mengeluarkan Instruksi Presiden No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat orang Tionghoa di Indonesia, kebudayaan masyarakat Tionghoa telah secara kasat mata melekat dan mewarnai sejarah kebudayaan bangsa ini. Dengan Inpres tersebut, secara perlahan kebudayaan itu sirna dan hanya menjadi wilayah domestik dalam keluarga dan rumah ibadah tertentu.

Dorongan reformasi politik pasca 1998 menyuburkan bertumbuhnya kekuatan-kekuatan politik kebudayaan yang selama hampir tiga dekade kepemimpinan Orde Baru terkubur. Pencabutan Inpres No 14/1967 tentang adat dan kebudayaan Tionghoa di masa presiden Abdurrahman Wahid merupakan salah satu simpul terbukanya politik  kebudayaan pinggiran. Pada perkembangannya, simpul ini memicu budaya-budaya pinggiran lain untuk bersuara dan mengikuti kontestasi wacana politik budaya reformasi. Tak terkecuali, politik budaya penghayat dan kepercayaan yang sejauh ini nyaris berada di balik tabir kebudayaan nusantara.

Padahal, tradisi penghayat dan kepercayaan merupakan warisan kebudayaan nusantara dan telah dianut masyarakat sebelum agama-agama besar datang. Selain itu, secara terminologis, penghayat dan kepercayaan itu merujuk pada konsep agama, yaitu berupa tuntunan dan aturan yang merupakan ketetapan Tuhan (Gusti) Yang maha Kuasa, persis dengan konsep aturan dalam agama-agama besar. Kata “agama” berasal dari bahasa Kawi ‘Hagama’; ha bermakna Kang Hana sebutan untuk Yang Maha Agung (Gusti/Tuhan) dan ‘gama’ menjadi “hagama”, kemudian agama bermakna tatanan atau patokan (E. Rusmana, 2014). Tak salah, jika saat ini entitas politik kebudayaan penghayat dan kepercayaan ini ikut hadir dan menggugat status quo; peminggiran dari arus utama wacana keagamaan di Indonesia.

Dalam beberapa kesempatan, ungkapan dari penganut penghayat dan kepercayaan tidak lebih dari sebuah tuntutan untuk kesetaraan akan hak sipil, politik, ekonomi dan kebudayaan selayaknya penganut agama yang statusnya “diakui”. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari bunyi ayat konstitusi  dasar pasal 29 ayat 1 dan 2 yang menempatkan agama dan kepercayaan dalam posisi setara. Maka pengabaian negara dan peminggiran atas hak hidup penghayat dan kepercayaan yang ada itu mengandung pertentangan dari sisi pengertiannya (contradictio in terminis). Ada logika yang termakzulkan jika kepercayaan diposisikan dalam posisi yang berbeda dengan agama. Plus, penetapan “status diakui” atau “tidak diakui” oleh pemerintah juga kontradiktif karena kewajiban pemerintah untuk mengakomodasi semua kelompok agama dan kepercayaan secara setara (equal).

Penetapan status tersebut menjadi salah satu akar persoalan tumbuhnya benih intoleransi dan praktik diskriminasi terhadap penganut kepercayaan dan penghayat selama ini. Dalam konferensi Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) akhir bulan lalu, beberapa perwakilan dari penganut penghayat kepercayaan memberi kesaksian masih terjadinya kekerasan verbal (hate speech), kebijakan diskriminatif, bahkan kekerasan fisik berupa penyerangan.

Dalam berbagai laporan, praktik diskriminasi dan kriminalisasi terhadap agama pinggiran, penyesatan atas perilaku dan tafsir teks agama masih cukup sering terjadi. Meskipun laporan yang dilansir The Wahid Institute tahun 2014, jumlah kasus intoleransi menurun, namun secara kualitas kasus-kasus intoleransi terhitung masih relatif tinggi di antara negara-negara lain yang di survey. Banyak penyelesaian kasus yang menggantung, tidak tuntas, salah satunya akibat tidak sinkronnya antara kebijakan pusat, kementerian agama, dengan pengambil kebijakan di daerah.

Terjadi gejala mimikri, dimana mayoritas suatu kelompok menekan kelompok minoritas seperti kejadian di Kupang, ketika pembangunan masjid terhalang oleh masyarakat non muslim, yang nota bene mayoritas, menolak didirikannya masjid di wilayah itu. Hal yang sama dialami oleh komunitas penganut Sikhisme (Hindu Sikh) yang terpaksa tidak bisa membangun tempat ibadah (gurdwara) di daerah Ciledug akibat penolakan warga. Sikhisme disalahpahami sebagai bagian atau sekte dari Hinduisme padahal ia memiliki perbedaan-perbedaan mendasar dalam hal teologinya dan menyebut sebagai bagian iman yang terpisah dari Hindu.

Nasib sikhisme sama dengan Konghucu yang sebelumnya dikategorikan oleh pemerintah (Kementerian Agama) sebagai bagian dari agama Buddha.Sementara penghayat dan kepercayaan sejauh ini masih diwacanakan dalam ranah kebudayaan bukan model agama dalam kacamata negara. Pemerintah  masih menempatkan penghayat dan kepercayaan dibawah ‘pengasuhan’ kementerian dan kebudayaan

RUU PUB

Di tengah sengkarut ini, pemerintah menginisiasi dibentuknya Rancangan Undan-undang Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB). Pasca dilantik sebagai Menteri Agama, oktober tahun lalu, Lukman Hakim Saifuddin mengatakan semangat dari RUU itu adalah keseriusan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi semua umat beragama dan kepercayaan. Waktu itu, Menteri Agama menargetkan draft RUU tersebut bisa selesai dan diserahkan ke DPR dalam enam bulan.

Perkumpulan dan organisasi  masyarakat sipil masih menunggu sosialisasi naskah akademik rancangan undang-undang itu dengan sedikit kegamangan. ICRP, dalam pernyataan yang sudah disampaikan ke publik menekankan pentingnya nilai-nilai dasar Hak Asasi Manusia (HAM) untuk diakomodasi dalam Undang-undang. Terutama nilai dasar HAM internasional mengenai hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights), dan hak sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Rights) yang telah diratifikasi oleh pemerintah.

Masyarakt sipil menuntut Undang-Undang Perlindungan Agama yang tengah disusun ini juga mengakomodasi fakta-fakta teologis, sosiologis dan antropologis. Dengan demikian, harapannya agama dan kepercayaan minoritas yang memiliki basis kultural di banyak daerah benar-benar mendapatkan perlindungan. Selama ini penganut penghayat, kepercayaan dan agama pinggiran ini merasa hak-hak sipil dan politiknya terabaikan hanya karena cara pandang negara atas agama yang hanya merujuk pada agama-agama besar. Nafas kebhinekaan budaya, agama dan kepercayaan direduksi pada agama-agama yang secara kronologis datang belakangan ke nusantara.

Dalam suatu kesempatan (2014), anggota komisi X DPR yang mengurusi bidang agama, Jalaluddin Rahmat, mengutarakan nada pesimis  agama dan kepercayaan pinggiran itu bisa disetarakan posisinya dengan agama-agama yang diakui ini. Menurut dia, dominasi kelompok anggota DPR yang berbasis agama besar di parlemen bisa menjadi salah satu halangan agama pinggiran ini diapresiasi lebih dalam RUU PUB . Jadi, tampaknya harapan para penganut agama dan kepercayaan pinggiran ini agar lebih “terlindungi” masih akan tetap menjadi harapan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline