Lihat ke Halaman Asli

Mubaidi Sulaeman

Peneliti Islamic Studies UIN Sunan Ampel Surabaya

Polemik Kartu Prakerja yang Terus Berlanjut

Diperbarui: 8 Agustus 2020   11:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada tahun 2019 yang lalu, ketika petahana Presiden Joko Widodo maju kembali menjadi calon presiden Indonesia, beliau di tengah-tengah pendukungnya mengeluarkan 3 buah kartu dari kantong baju putih lengan panjangnya. Jeng jeng. Yupz, itu adalah kartu sakti yang akan diterima oleh masyarakat Indonesia apabila ia terpilih lagi menjadi Presiden Indonesia pada periode 2019-2024.

Dari ketiga "kartu sakti" Presiden Jokowi, KIP (Kartu Indonesia Pintar) Kuliah, Kartu Sembako Murah (KSM), dan  Kartu Pra Kerja. Kartu terakhir inilah merupakan kartu yang paling menyita perhatian. 

Selain  daya tarik program kartu ini semakin memanjakan masyarakat Indonesia yang terkenal malas, kartu ini juga rawan sekali penyimpangan pelaksanaan operasionalnya di lapangan. Bahkan para pakar politik dan ekonomi ramai-ramai membahas konsep dari Kartu Pra kerja ini.

Kartu Pra Kerja ini sendiri merupakan konsep awalnya digunakan untuk anak-anak muda yang baru lulus SMA, SMK dan para pekerja yang terkena PHK untuk mendapatkan pelatihan intensif hingga mendapatkan insentif selama masa "menganggurnya".  Bagaimana masyarakat tidak tertarik jika "konsep" yang ditawarkan begitu "memanjakan" para pengangguran.

Meskipun saya yakin, bukan karena Kartu Pra Kerja ini, beliau akhirnya terpilih kembali menjadi presiden di Republik Indonesia untuk periode yang kedua. Setelah dilantik pada bulan Oktober tahun 2019. 

Maka presiden Jokowi bergerak cepat mengangkat para Menteri untuk membantu kebinetnya, bahkan ada staf khusus milenial yang siap mendampinginya untuk berdiskusi lima tahun mendatang.

Memang masyarakat Indonesia suka baper, ketika pengumuman para stafsus milenial yang belum jelas-jelas amat kerjanya digaji sebesar Rp. 55 juta per bulan, ramai-ramai menghujat dan mencaci kebijakan tersebut. 

Karena dianggap tidak peka terhadap kondisi ekonomi masyarakat yang sedang sulit, dengan menggaji tinggi anak-anak muda  yang kerjanya "hanya untuk diajak berdiskusi". Memang penduduk negara +62 itu suka su'udzon sih.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat Indonesia "yang memang mudah teralihkan" perhatiannya oleh isu terbaru. Secara perlahan mulai melupakan perdebatan polemik gaji besar para Stafsus milenial Presiden ini, dan mulai berusaha khusnudzon dengan cara sabar menunggu hasil kinerja dari para Stafsus tersebut.

Belum beberapa bulan Stafsus ini bekerja, masalah pertama muncul dan menghebohkan dunia persilatan (baca: perpolitikan) di Indonesia.  Di kala badai pandemi covid-19 datang melanda negeri ini, ada dua Stafsus milenial yang bergaji besar tadi membuat heboh. 

Yang pertama,  Andi Taufan Garuda Putra, yang menggunakan jabatannya sebagai Stafsus menyurati para camat se-Indonesia untuk bekerja sama dengan perusahaan pribadinya, PT. Amartha Mikro Fintek dalam menanggulangi dampak covid-19 di masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline