Lihat ke Halaman Asli

urang banjar

Senang dengan aktivitas bertani

Belajar Menulis Seumur Hidup

Diperbarui: 9 Januari 2023   14:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Kapan pertama kali kita menulis? Saya masih ingat, hari pertama masuk Sekolah Dasar semua murid kelas 1 ditugaskan untuk membuat garis-garis vertikal mirip angka 1, tiap baris buku harus terisi garis-garis dimaksud sampai penuh dengan diberi jarak tertentu agar terlihat tidak terlalu rapat dan tidak terlalu jarang. Selesai baris pertama, lanjut ke baris kedua, agar terlihat rapi maka diberi jarak satu baris (ada satu baris yang dikosongkan), lagi-lagi agar terlihat tidak terlalu rapat dan tidak terlalu lebar. Kira-kira setengah halaman buku tulis diisi oleh garis-garis tersebut. Anak-anak zaman itu bilangnya disuruh buat pager-pageran di hari pertama masuk sekolah. Saya juga masih ingat, murid yang membuat pager-pageran terlalu rapat dan tidak diberi spasi 1 baris nilainya 80, sedangkan yang hasilnya rapi dan tidak terlalu rapat maka diberi nilai 100 oleh guru. Hari kedua dan seterusnya berlatih membuat lingkaran, segitiga dan seterusnya. Pada intinya kelas 1 SD zaman itu benar-benar belajar menulis.

Setelah bisa menulis dan membaca, apakah aktivitas menulis selesai? Tidak. Saya masih terus memperbaiki tulisan saya yang sebelumnya tulisan tidak sambung menjadi tulisan sambung. Sejak SD kelas 3 rasanya saya sudah diajari menulis sambung oleh bapak saya. Kata teman saya waktu itu, tulisa sambung mah tulisan dokter. Pernah juga tulisan saya miring ke kiri, lalu berubah jadi tegak, dan terakhir miring ke kanan. Seingat saya sejak SMP saya sudah menulis sambung dengan ajeg dan konsisten. Ada beberapa guru SMP saya yang komplain tulisan saya gak kebaca/dimengerti karena tulisannya sambung. Saya konsultasi dengan bapak, lalu bapak menyarankan agar tulisan sambung itu bisa dimengerti oleh kita sebagai penulis, tapi juga bisa dibaca oleh orang lain. Sejak saat itu saya terus memperbaiki tulisan sambung saya.

Sudah puaskah bisa menulis sambung yang dapat dibaca oleh orang lain? Ternyata tidak. Semasa SMA tahun 1993-an saya sempat ikut kursus komputer dan belajar perangkat lunak kalau tidak salah namanya Wordstar yang masih berbasis DOS. Saya melihat instruktur kursus saya mengetik dengan sangat cepat menggunakan 10 jari, dari sini ketertarikan saya dimulai. Saya mengutarakan keinginan saya kepada instruktur agar bisa belajar mengetik 10 jari. Singkat cerita saya ikut kursus mengetik 10 jari di tempat kursus tersebut menggunakan komputer, sampai di rumah saya berlatih menggunakan mesin tik manual, dengan kesungguhan penuh dan tekun, saya berhasil menguasai keterampilan mengetik 10 jari. Ibarat kata, mata ditutup pun jari-jemari saya lancar menekan tombol keyboard. 

Selesai kuliah Diploma III saya bekerja di salah satu perusahaan akuntan publik di Jakarta dengan posisi sebagai typist atau juru ketik. Nah di sinilah bakat saya terasah. Keterampilan mengetik 10 jari benar-benar terasa manfaatnya. Saya bisa mengetik dengan cepat dan tepat tanpa melihat keyboard komputer. Saya perhatikan teman saya sesama typist yang bisa mengetik dengan cepat tapi masih menggunakan 11 jari (istilah orang yang tidak bisa mengetik 10 jari). Tahun-tahun berlalu di perusahaan tersebut dan pekerjaan mengetik sudah jadi makanan tiap hari, sampai pada suatu hari saya memutuskan untuk keluar dari perusahaan atas kemauan sendiri. Waktu itu saya berfikir, apa iya saya akan jadi typist seumur hidup. Akhirnya setelah 5 tahun bekerja sebagai typist saya benar-benar resign dari perusahan tersebut.

-Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline