Lihat ke Halaman Asli

Polisi Tobat

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Perubahan drastis dalam proses konversi agama dari tidak taat menjadi taat. Konversi ini terjadi pada diri seorang anggota polisi yang berdomisili di salah satu wilayah kecamatan sekitar tahun 1960an. Di masa polisi masih dikesankan sebagai soso yagn “menyeramkan”, hingga siapapun yang menjadi olisi dapat menampilkan sika overacting (berlebihan) bila mau. Masyarakat sama sekai tidaj mamp mengritik.

Ketika msayarakat dikeluhkan oleh “kenakalan” anggota polisi di tempat itu. Masyarakat sekecamatan tersebut mengenal anggota polisi yang satu ini sebagai sosok yang tak terpuji. Latar belakang kehidupan dan perilaku kesehariannya, sama sekali tidak menampilkan gambaran dari seorang polisi. Di luar tugas dinasnya laki-laki ini sering terlibat dengan minuman keras, perjudian, dan prostitusi. Anggaran biaya untuk menopang hobingya itu menurut informasi yang layak dipercaya, semuanya diperoleh dri hasil memeras para pengusaha dan pedagang setempat.

Mungkin karena licik dan kelihaiannya, perbuatan tercela itu belum sempat tercium oleh atasannya, hingga luput dari tindakan hukum. Masyarakatpun tidak berani untuk mengajukan aduan. Semua rahasia itu tetap terjaga, karaena para preman setempat yang merasa terlinfung, ikut menekan masyarakat agar apa yang mereka lakukan tetap terjaga. Tidak seorang pun yang berani mengutik-utik kasus tersebut. Semuanya berlangsung bertahun-tahun secara aman dan tentram. Hingga tibalah suatu waktu yang menentukan perubahan mendadak.

Suatu ketika di penghujung malam sang polisi itu pulang dari tempat perjudian. Saat sedang terbuai oleh mimpi, sang polisi itu sibuk menghabiskan minuman arak yang sempat dibawanya. Arak putih yang dikenal sebagai minuman berkelas di kalangan pecandu minuman keras di daerah itu, memang hanya mampu dikonsumsi oleh peminum kawakan yang berkantong tebal. Kemasannya pun dibuat secara khusus dalam wadah botol tembikar (guci kecil). Terasa nikmat dan paling memabukkan.

Entah apa yang dirasakannya, tiba-tiba dikeheningan malam yang mencekam itu si peminum ini tersentak. Antaara sdara dan tiada, si polisi ini melihat bayangan lelaki tua yang mengenakan jubah putih. Di sisa-sisa kesadarannya itu ia masih mendengar terguran keras dari laki-laki yang samar itu. Hatinya tersentak dan terhenyut. Terbetik dalam dirinya untuk segera meninggalkan perilaku terkutuk itu. Tetapi karena masih tersisa beberapa teguk, aarak itupun terus diminumnya hingga habis. Saat tegukan terakhir, secara tak disadari terungkap semacam jani kepada dirinya sendiri “sehabis tegukan ini, aku bersumpah tidak akan menyentuh aarak walau setetes”.

Sejak tercetus ucapan itu, hatinya menjadi kian gelisah yang menyebabkan sulit untuk memejamkan mata. Sisa-sisa malam ia habiskan dalam renungan batin yang kian menggejolak. Adzan subuh yang sebelumnya terlewatkan begitu saja, kini tiba-tiba terdengar begitu syahdu. Dirinya seakan terhipnotis dan membawa langkahnya menuju langgar yang masih asing bagi dirinya. Sepanjang hidupnya, meskipun mengaku muslim, belum pernah ia mengenal atau menunaikan salat. Tapi kali itu seakan ada yang membimbingnya untuk pergi ke langgar.

Tiba di tempat, jamaah langgar sedang menunaikan salat subuh. Sang polisi itupun merasa tak mampu untuk masuk, karena merasa dirinya demikian kotor. Saat itu ia baru merasakan dirinya demikian kerdil dan hanya mampu duduk bersimpuh di kaki tangga bangunan tersebut. Jamaah yang pulang menjadi terheran-heran melihat perilaku aneh sang polisi. Namun, karena ia dikenal sangar oleh masyarakat, amak tak seorangpun yang berani menyapanya.

Setelah amah sepi sang imam baru keluar. Saat menapak kaki ke tangga, kakinya terasa dipegang seeorang. Sebelum sempat bereaksi, sang polisi itupun menyapanya dengan nada sendu. Dengan disertai suaraiba, sang polisi itu minta agar si imam dapat mengajarkannya salat dan sekaligus diperkenankan untuk salat subuh. Suara yang memelas yang keluar dari lubuk hati sang polisi ini merupakan pengakuan dari rasa bersalah.

Sejak itu, terjadi perubahan arah dalam diri sang polisi. Setelah kembali menjalankan syari’at agama, ia menyatakan dirinya menjdai tenang. Kebahagiaan batinnya kian terasa setelah ia berkesempatan menunaikan beberapa kali. Diungkapkannya bahwa saat menunaikan salat jum’at itu ia merasakan benar betapa nilai-nilai- kemanusiaan dan hart adirinya menjadi terangkat. Betapa tidak, menurut penilaiannya salat tidak membedakan kedudukan seseorang.

Di lingkungan dinas kepolisian, selama ini ia mengenal adanya perbedaan status berdasarkan kepangkatan. Komandan sebagai pejabat tertinggi di kesatuan harus mendapat penghormatan. Dalam setiap upacara, tokoh pemimpin ini harus ditempatkan di depan. Sebaliknya, di masjid, apapun status dan pangkat seseorang diperlakukan setara. Siapa saja yang datang lebih dulu berhak menempati shaf (barisan) depan. Kebenaran itu berkali-kali dialaminya. Sering ia duduk di shaf depan komandannya. Semua itu ikut membangkitkan kembali haarga dirinya yang belum pernah ia alami sebelumnya.

Perubahan yang terjadi ini tampaknya demikian berkesan kepada si polisi itu, hingga masyarakat mengenalnya sebagai sosok baru yang santun dan arif. Sisa hidupnya ia jalankan dengan setia, hingga akhir hayatnya sosok ini dikenal sebagai masyarakat sebagai muslim yang taat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline