Wahai istriku yang baik sekali. Terlalu baik malah. Sangking baiknya, setiap pengemis yang mendatangi pasti kamu beri. Barang seribu atau dua ribu rupiah. Bila kebetulan aku sedang bersamamu, mungkin masih ingat, aku selalu bilang "Kalau mau ngasih, lebih baik kamu datangi rumahnya. Jangan kasih di pinggir jalan seperti ini". Tetapi bilang tinggal bilang, anjuran itu selalu tidak kamu gubris. Tiap pengemis mendatangi, kamu tetap selalu memberi. Ah istriku, kamu memang baik sekali. Terlalu baik malah.
Melihat kelakuan kamu, wahai istriku, aku sampai pada satu pertanyaan. Apa yang menyebabkan kamu menjadi begitu baik? Jangan-jangan ini sebentuk kemalasan kamu dalam beribadah.
Wahai istriku, sedekah yang demikian berpahalanya memang harus banyak diperbuat. Namun di jaman instan yang serba cepat dan harus mudah, tampaknya bersedekah pun dituntut harus instan. Dan celakanya, memberi pengemis di jalanan itu sangat instan! Mereka yang mendatangi dan mereka ada di mana-mana. Padahal agama hampir selalu mengajarkan kita untuk selalu tabayun. Melakukan verifikasi sebelum tindakan diambil.
Apakah benar si peminta itu layak dikasihani?
Bila kamu percaya, wahai istriku, saat ini banyak beredar kabar yang menyebut penghasilan seorang peminta kemisannya itu. Dalam berita ini http://goo.gl/OxTtMWmisalnya, disebutkan seorang pengemis di Jakarta Selatan mampu meraup Rp 3,5 juta dalam waktu hanya 10 hari saja. Coba bandingkan dengan rencana UMP Jakarta tahun 2014 yang hanya Rp 2,4 juta sebulan. Hasil 10 hari mengemis jauh lebih besar dari upah minimal seorang buruh yang kudu bekerja dalam sebulan.
Besarnya pendapatan mengemis tersebut bagi sebagian orang bermental busuk adalah peluang. Tidak sekali terdengar kabar orang yang pura-pura miskin atau pura-pura cacat atau pura-pura sakit supaya dikasihani saat mengemis. Mereka jadikan mengemis sebagai lahan usaha mengais banyak rezeki ketimbang bekerja dengan penghasilan lebih kecil tapi kudu memeras otot dan menguras keringat.
Karenanya, wahai istriku sang filantropis jalanan, janganlah kamu terlalu malas dalam beribadah. Anjuran di awal tulisan kukumandangkan kembali. Berhentilah memberi pengemis di jalanan. Jika kamu keukeuh kudu memberi pengemis itu, tuntunlah mereka, berikan sedekah kamu di rumah mereka masing-masing.
Atau, bila kemalasan adalah darah dan daging, lebih baik kamu membawa aku, suamimu, membuang uang dengan mengajak tukang beca keliling kampung. Kita berdua mencari angin digowel otot keras betis Kang Beca. Biar uangmu menjadi pengganti otot yang lelah, daripada menjadi pemuas kemalasan pengemis palsu di jalanan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H