Lihat ke Halaman Asli

Nyanyian Seorang “Jeppri”, untuk Siapa?

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi dari Flickr.com

[caption id="" align="alignnone" width="558" caption="Jeppri Silalahi - Ilustrasi dari Flickr.com"][/caption]

Pada dasarnya media massa mempunyai 4 fungsi utama yaitu fungsi edukasi, informasi, hiburan dan pengaruh. Idealnya, dari keempat fungsi diatas, yang harus mempunyai porsi terbesar dan mendominasi adalah pada fungsi informasi dan edukasi dibandingkan dengan fungsi hiburan dan fungsi pengaruhnya masyarakat. Media massa diharapkan dapat lebih banyak memberikan informasi akurat dan jelas sumber dan faktanya yang sifatnya mendidik masyarakat atau komunikatornya untuk menjadi lebih cerdas dan kritis dalam menanggapi setiap pemberitaan atau pun ketika membaca isu pemberitaan yang sedang beredar, sehingga masyarakat tahu mana pemberitaan yang akurat berdasarkan pada bukti-bukti dan referensi terpercaya atau pemberitaan yang sifatnya boombastis dan melebih-lebihkan dengan “tujuan” tertentu atau hanya untuk sekedar numpang eksis tanpa menyertakan bukti atau sumber pendukungnya.

Menurut Eep Saefulloh Fatah, “ Pers merupakan pilar keempat bagi demokrasi (the fourth estate of democracy) dan mempunyai peranan yang penting dalam membangun kepercayaan, kredibilitas, bahkan legitimasi pemerintah”. Bisa kita bayangkan betapa bisa menjadi “power full” nya pengaruh dari media massa untuk bisa mencapai kepentingan suatu kelompok tertentu.

Di era yang serba digitalisasi dan begitu banyaknya kepentingan dari berbagai kelompok untuk memanfaatkan media massa sebagai alat atau “corong” kepentingannya seperti saat ini, terlebih saat detik-detik menjelang pemilu, sudah pasti media massa menjadi sarana favourit yang dianggap paling efektif untuk mencapai berbagai kepentingan atau sebagai “tensi politik” dengan melalui figur-figur tertentu yang ditampilkannya.

Ketika seorang Jeppri F Silalahidari Indonesia Law Reform Institute dalam keterangan pers(Jumat, 8/11) mengeluarkan pendapat yang kontraversial dalam tulisannya yang berjudul “Bukannya Menangkal Intelijen Asing, BIN Malah Digunakan Memata-matai Musuh SBY” (http://www.rmol.co/read/2013/11/09/132532/Bukannya-Menangkal-Intelijen-Asing,-BIN-Malah-Digunakan-Memata-matai-Musuh-SBY-) dimanapada intinya selama ini Badan Intelijen Negara hanya sering digunakan untuk memata-matai rakyat atau musuh yang dianggap kontra dan mengganggu kebijakan pemerintahan SBY, sehingga secara fungsi utamanya BIN mengalami kemandulan dalam melakukan penangkalan terhadap operasi intelijen negara lain dan publiknyaris tidak mendengar capaian-capain prestasi BIN dalam melakukan operasi pengamanan negara, seperti yang dilakukan oleh badan intelijen negara lain. "BIN hanya bangga melakukan jumpa pers tentang penanganan dan penangkapan terhadap aksi-aksi mahasiswa yang menolak kenaikan harga BBM," Indonesia sebenarnya memberikan kesempatan kepada Amerika Serikat untuk melakukan aktivitas penyadapan di negeri ini. "Menurut informasi, Sandi Negara kita juga telah lama tidak diperbaharui sehingga sangat mudah untuk ditembus sehingga ini harus diperhatikan dan dibahas serius oleh pemerintah dan DPR,"

Jika kita perhatikanpendapat tersebut diatas masih harus dipertanyakan kebenarannya karena, untuk mengumbar pendapat “bombastis” seperti ini sudah seharusnya Jeppri F Silalahi, menyertakan bukti-bukti yang mendukung secara konsisten dengan pendapatnya tersebut sehingga apa yang diungkapkannya dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya, tidak hanya asal mengumbar dan mengatakan “menurut informasi” tanpa adanya bukti pembenaran dan menyebutkan dengan jelas sumbernya, karena bisa mengarah kepada “pembohongan publik, dan mengancam kredibilitas sebagian lembaga Negara dimata masyarakat. Harus dipertanyakan juga sebenarnya, pendapat Jeppri ini untuk mewakili kepentingan apa dan siapa?.

Pemberitaan tidak jelas seperti ini secara tidak langsung telah mencerminkan kondisi media massa saat ini yang sebenarnya minim SDM lapangan yang professional sesuai standar kompetensi Dewan Pers. Media massa online cenderung lebih rentan menyalahi kode etik jurnalistik, karena dengan mudahnya mewawancarai hanya satu orang pihak narasumber yang juga sebenarnya diragukan kompetensinya dalam bidang intelijen, tanpa adanya sumber tandingan dari pihak terkait lainnya. Sudah seharusnya kalangan media massa harus berhati-hati dalam menjalankan aktivitas jurnalistiknya, agar tidak dimanfaatkan dan disalahgunakan oleh kelompok kepentingan tertentu.

Dalam hal ini menurut saya, Rakyat Merdeka Online (RMOL) sebagai salah satu media massa online tidak menunjukan profesionalisme untuk menyeleksi bobot dan content pemberitaan yang di terbitkannya. Beruntungnya Masyarakat saat ini sudah jauh lebih cerdas dan kritis dalam menafsirkan dan menanggapi sebuah pemberitaan, sehingga tidak dengan mudah terpengaruh oleh pemberitaan dan pendapat dari seseorang yang tidak jelas.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline