Lihat ke Halaman Asli

Tytiek Widyantari

Pengagum dan penikmat kehidupan

Pesan Tenteram Ajahn Brahm, "Don't Worry, Be Hopey"

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13949792041452298737

[caption id="attachment_299304" align="aligncenter" width="800" caption="Ajahn Brahm @Sports Mall, Kelapa Gading"][/caption]

“Aware Everywhere” – Sadar dimana saja merupakan tema dari kunjungan Ajahn Brahm ke Jakarta kali ini.  Acara yang disponsori oleh Yayasan Ehipassiko ini diadakan pada hari Minggu, 9 Maret 2014 di Sports Mall, Kelapa Kading.

Jam 13:45 para hadirin diminta berdiri ketika Ajahn Brahm dipersilakan ke panggung untuk memulai ceramah.  Di hadapan sekitar 4000 orang siang itu, dari panggung Ajahn Brahm mengawalinya dengan  menghitung, “One, two, three, four…” sambil mengulurkan kedua tangannya mempersilakan para hadirin untuk duduk kembali.

Pertama adalah mengenai pertanyaan, mengapa orang-orang yang sudah memiliki segalanya masih mau saja bersusah-payah hadir pada setiap acara Ajahn Brahm?  Jawabannya memecah tawa semua yang hadir, “… because they don’t have Ajahn Brahm’s smile!” Ajahn Brahm memang mengajak kita semua untuk selalu tertawa, sedikitnya tersenyum, karena dengan lebih banyak tertawa dan tersenyum akan membantu pembuluh darah kita melebar dan apa saja bisa lewat.  Kalau kita sehat tentunya kita juga menjadi bahagia.  Sekalipun tidak memiliki apa-apa yang bersifat material Ajahn Brahm tetap bahagia, ‘happy and fat’, sambungnya – semakin gendut seseorang artinya hatinya semakin besar, tentu saja hal ini disampaikannya dengan jenaka sebagai humor yang menghibur bagi kita yang ‘besar’.  Intinya, yang terpenting bagi kita adalah berbesar hati.

Masalah ada supaya kita terus belajar dan tumbuh sebagai manusia.  Hal ini diilustrasikannya pada cerita yang juga ada dalam buku terbaru Ajahn Brahm, ‘Don’t Worry Be Hopey’, yaitu ketika Ajahn Brahm belum menjadi biksu dan masih seorang guru matematika di sebuah SMA Inggris.  Ketika harus menggelar ujian pertamanya, Ajahn Brahm meminta nasihat kepada seorang guru senior.  Nasihatnya adalah jangan membuat soal terlalu sulit  atau pun terlalu mudah.  Saran guru seniornya adalah untuk membuat ujian dengan sasaran nilai rata-rata 70%.  Dengan demikian para siswa akan terdorong kemampuannya untuk memperoleh nilai baik dalam matematika, dan di 30% nilai kesalahan mereka, guru akan mampu mengenali titik lemah mereka dan mengulas itu dalam pelajaran selanjutnya.  Ujian itu 70% untuk penyemangat dan 30% untuk pembelajaran.  Kemudian, Ajahn Brahm menyadari bahwa hal yang sama berlaku bagi kehidupan.  Jika nilai rata-rata kita dalam ujian kehidupan hanya 30-40%, maka kita akan patah semangat, bahkan tertekan dan menyerah.  Jika kita mencetak 95-100% dalam kehidupan, kita belajar sangat sedikit dan tidak berkembang.  Namun jika nilai kehidupan kita sekitar angka ajaib 70%, maka kita memiliki cukup kesuksesan untuk mempertahankan motivasi kita dan cukup kegagalan untuk belajar dan tumbuh sebagai manusia.

Ketika ditanyakan mengenai nilai-nilai apa yang sebaiknya kita berikan kepada anak-anak, dengan tegas Ajahn Brahm menjawab, “honesty” – kejujuran! Pada umumnya orang suka berbohong karena takut dihukum, dan untuk menghadapi ketakutan itu kita bisa sekaligus mengajarkan juga tentang nilai pengampunan.  Tetap dalam keadaan ‘sadar’ dimanapun kita berada, karena hidup ini ibarat sebuah perjalanan, kita tidak tahu kapan ada lubang di jalan depan kita.

Mengenai bagaimana caranya cepat kaya, jawaban Ajahn Brahm adalah kerja keras dan jangan boros.  Kaya itu bukan apa yang kita miliki, tetapi seberapa banyak yang kita inginkan.  Bahagia berarti senang dengan apa yang kita miliki.  Kaya sekali, ada pada kondisi tidak menginginkan apa-apa lagi.

Satu jam kemudian sampai pada sepuluh pertanyaan yang dijawab singkat dan padat oleh Ajahn Brahm.  Tiga pertanyaan pertama dijawabnya dengan singkat, “do nothing.”  Pertanyaan 1-3 itu, adalah (1) Apakah hobi Ajahn Brahm? (2) Apa yang dilakukan Ajahn Brahm ketika bosan? (3) Bagaimana sikap Ajahn Brahm menghadapi kritik yang menyakitkan hati?  Pada jawaban pertanyaan ketiga, Ajahn Brahm menambahkan, bahwa dia tidak akan membiarkan siapa pun mengganggu kebahagiaannya.

Pertanyaan keempat mengenai reaksinya terhadap berita-berita di media massa mengenai kekerasan yang terjadi di masyarakat.  Ajahn Brahm menjawabnya dengan ‘compassion’ – ikut merasakan dengan welas asih lalu berusaha menolong apapun yang bisa dilakukan, misalnya dia berkeliling Indonesia dengan mengajak orang berwelas asih dan memaafkan, karena bagaimana pun kebaikan dan welas asih adalah cara yang lebih baik untuk menghentikan kekerasan.

Jawaban pertanyaan kelima mengenai kesedihan, kita selalu punya pilihan dan kesedihan hanya membuang-buang waktu saja.  Lanjutnya, tak ketinggalan dengan senyum khasnya, “Don’t be sad, be hopey!

Atas pertanyaan keenam ketika menghadapi sesuatu yang menakutkan, Ajahn Brahm bercerita bagaimana dia melawan hantu ketika di Thailand.  Ajahn Brahm pergi ke suatu goa yang khabarnya mengerikan karena banyak hantu di situ.  Menunggu hantu dalam kesunyian, yang karena sedemikian sunyinya hanya bisa mendengarkan nafasnya sendiri.  Ditunggu tidak muncul-muncul, munculnya pada saat yang tidak diharapkan, sehingga harus ditegasi untuk pergi.  Sama halnya kalau ada tamu yang datang tidak pada waktu yang tepat ya usir saja, ha-ha.

Setiap orang pasti pernah berbuat kesalahan.  Pertanyaan kedelapan, kesalahan terbesar apa yang pernah dilakukan oleh Ajahn Brahm? Pada suatu hari di upacara pernikahan, karena sudah sedemikian lelahnya Ajahn Brahm malah mengucapkan doa pemakaman.  Untungnya pengantin dan hadirin tidak terlalu memperhatikan dan hidup rukun bahagia di kemudian harinya.

Mengenai keputusan terbaik dalam hidup Ajahn Brahm, adalah pertanyaan kesembilan.  Bagi Ajahn Brahm tidak ada keputusan terbaik atau pun terburuk.  Kalau tidak ada kesalahan maka tidak akan ada keputusan, demikian pula dari segala kejadian yang memunculkan keputusan, fungsikan saja.

Pertanyaan kesembilan, apakah Ajahn Brahm sudah tercerahkan? Jawabnya, “It’s a secret!” ujarnya sambil tertawa dan melanjutkannya dengan cerita yang pada akhirnya rahasia itu hanya para biksu yang boleh tahu.

Pertanyaan kesepuluh, kalau diberi kesempatan sebelum meninggal dunia Ajahn Brahm ingin mengatakan apa? Jawabnya, “See you!” sambil tertawa dan melambaikan tangannya.  Ajahn Brahm memang selalu memancing tawa setiap kali menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Perjalanannya kali ini sekaligus juga acara peluncuran buku terbarunya, Don’t Worry Be Hopey – mengajak kita menyadari bahwa kegalauan adalah melihat masa dengan dengan mempertimbangkan semua hal buruk yang bisa terjadi.  Kecemasan tak semestinya seperti itulah penyakit kognitif dalam skala mewabah di dunia modern kita.  Penangkalnya adalah melihat masa depan dengan mempertimbangkan segala hal baik yang bisa terjadi.

Untuk lebih jelasnya, baiklah dikutipkan ilustrasi cerita dalam buku Don’t Worry Be Hopey berikut ini:

Pada zaman dahulu kala, ada seorang pemimpin spiritual yang bijak namun tak mengikuti kebiasaan umum yang mengajarkan bahwa hanya ada dua agama di dunia ini:

1.Agama yang membengkokkan kebenaran agar sesuai dengan keyakinan mereka; dan

2.Agama yang membengkokkan keyakinan mereka agar sesuai dengan kebenaran.

Ia adalah pengikut agama kedua, yang selalu siap meninggalkan suatu dogma atau ritual, tak peduli betapa pun berharganya, jika fakta-fakta yang kokoh tidak mendukung hal itu.

Ini menimbulkan banyak musuh baginya di kalangan kaum tradisional.  Segera lawan-lawannya mencari-cari cara untuk menghancurkannya.  Ia memberi begitu banyak ceramah umum, sehingga mereka dengan mudah mengumpulkan banyak pernyataannya, yang tentu saja mereka kutip di luar konteksnya, dan menuduhnya menyebarkan kesesatan.  Di pengadilan, ia dinyatakan bersalah dan hukumannya adalah mati!

Setelah vonis hukuman mati dijatuhkan, pemimpin spiritual itu menghela napas, “Aduh, alangkah sayangnya!  Saya tadinya berencana mengajari istri Yang Mulia Hakim suatu meditasi sederhana, supaya ia tidak akan bertengkar dengan Yang Mulia lagi.  Sekarang saya tidak akan bisa mengajarinya untuk jadi penurut.  Sayang sekali!”

“Kamu tahu metode meditasi yang bisa membuat istriku tidak bertengkar denganku?” tanya sang hakim, penasaran.

“Saya tahu segala macam meditasi, Yang Mulia,” ia menjawab.

“Hmm,” timbang sang hakim.  “Baiklah.  Aku akan beri kamu penundaan hukuman mati selama duabelas bulan, supaya kamu bisa mengajari istriku untuk tidak bertengkar denganku, tetapi jika dia masih suka bertengkar setelah satu tahun, aku sendiri akan menghadiri eksekusimu.  Sidang ditutup!”

Ketika pemimpin spiritual itu meninggalkan ruang pengadilan, sebagai orang bebas selama duabelas bulan, murid-muridnya bertanya kepadanya apa metode meditasi ampuh yang bakal membuat para istri bertengkar dengan suami mereka ini.

“Aku tidak tahu,” jawab sang pemimpin spiritual, “aku belum menemukan metode seperti ini, tetapi aku mungkin saja menemukannya!  Bagaimana pun, siapa yang tahu apa yang akan terjadi tahun depan? Istri hakim mungkin saja mati, dan itu akan menghentikannya bertengkar dengan suaminya, ha-ha! Atau aku mungkin saja mati karena sebab alami.  Apa pun deh, pokoknya sekarang aku punya duabelas bulan masa bebas.  Ingat pepatah:

Don’t Worry Be Hopey.

kampung gunung, 16.03.2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline