Lihat ke Halaman Asli

Karet, "Melar" Secara Fisik tapi "Mengkerut" Secara Harga

Diperbarui: 8 Juni 2020   05:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Produksi Crepe Karet yang Terhenti (dokpri)

Indonesia merupakan negara agraris, banyak terdapat pertanian, perhutanan, perikanan, dan juga perkebunan. Di sektor perkebunan ditanam berbagai macam tanaman, diantaranya kakao, kopi, teh, gula, dan juga karet. Bahkan pada zaman kolonial Belanda, Indonesia memiliki banyak  pabrik yang mengolah hasil perkebunan, yang kemudian setelah Indonesia merdeka dijadikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Dari sekian banyak komoditas, salah satu yang pernah berjaya di zamannya yaitu karet. Tanaman yang berasal dari Amerika Selatan ini mulai dibudidayakan di Indonesia pada awal abad ke-20, dan menjadi komoditas unggulan Indonesia. 

Saat ini Indonesia adalah negara penghasil karet terbesar di dunia di bawah Thailand, meskipun memiliki lahan yang lebih luas daripada Thailand. Tanaman karet pernah mengalami masa keemasan pada awal 2010-an, ketika itu harga jual karet sempat mencapai US$ 4 per kilogram.

Namun seiring berjalanya waktu, harga karet menjadi semakin "mengkerut" meskipun secara fisik karet memiliki bantuk yang dapat "melar",  harga turun hingga Rp. 8.000,- hingga Rp. 8.500,- per kilogram karet dengan kadar karet kering (K3) 50 persen.

Dengan menurunnya harga yang sangat drastis dalam 8-9 tahun terakhir, banyak terjadi kelesuan di bidang pengolahan bahan karet, dan berimbas pada banyaknya "pengistirahatan" tenaga kerja, mengingat perkebunan di Indonesia masih menggunakan sistem padat karya, sehingga apabila produksi turun maka akan berimbas pada pengurangan jumlah tenaga kerja.

Banyak yang mengatakan apabila penyebab kelesuan pengolahan karet karena masih menganut sistem padat karya, namun menurut saya sistem padat karya bukan suatu masalah, karena dengan menggunakan tenaga kerja yang banyak, maka akan berkurang juga tingkat pengangguran.

Teknologisasi juga merupakan hal yang sangat baik di bidang efisiensi biaya, namun mesin tetaplah mesin, namun tenaga kerja adalah manusia yang memiliki keluarga yang perlu untuk diberikan nafkah.

Namun apabila memang perlu dilakukan teknologisasi, maka lebih dahulu dipersiapkan infrastruktur dan juga suprastruktur, yang diantaranya adalah kebijakan-kebijakan yang mendukung kepada pemanfaatan teknologi di masa depan, termasuk dengan mempersiapkan tenaga kerja muda yang cakap menggunakan infrastruktur yang akan dipersiapkan.

Kembali lagi pada pengolahan karet, dimana dengan harga karet yang tergolong rendah, maka akan semakin memperbesar kemungkinan defisit bagi pelaku usaha, dan seringkali apabila mengalami defisit maka akan dilakukan sutau langkah cepat untuk mendapatkan uang, yaitu dengan menjual atau paling tidak menyewakan lahan kepada pihak lain.

Hal tersebut secara jangka pendek memang dapat menghasilkan uang, namun apabila nanti terlalu terlena dlam "zona nyaman" tersebut akan mengakibatkan resesi yang berkelanjutan, menjual lahan itu dapat diibaratkan memakai obat pati rasa tanpa resep dan perawatan dokter, setelah efeknya selesai akan semakin sakit.

Dalam teori ekonomi kapitalis dikatakan bahwa orang yang terkaya adalah "Tuan Tanah", dalam artian orang yang menguasai perekonomian adalah orang yang memiliki lahan. Dapat diartikan juga bahwa lahan adalah tanah, dimana sektor agraria dan sektor ekstraktif yang merupakan komponen penting pemenuhan kebutuhan manusia berasal dari tanah. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline