Lihat ke Halaman Asli

Tuhan, Mengapa Kita Bisa Bahagia?

Diperbarui: 3 Januari 2017   12:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi dalam buku Mimpi-mimpi Einsten | Dokumen Pribadi | @cheprakoso | 2016

JIKA MEMANG HARUS ada sebuah kenelangsaan di lembar terakhir kalender dan esok harus menggantinya dengan kalender hadiah toko sembako langganan dimana kita kasbon, seperti puisi-puisi murahan yang mesti ada frasa ‘senja’, ‘hujan’, dan farsa yang menyedihkan itu, maka itulah ketidakjodohan saya dengan buku Reuni karya Alan Lightman yang diterjemahkan penulis cermelang pemenang Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2016, Yusi Avianto Paraenom, dan diterbitkan oleh penerbit asuhannya sendiri, BaNANA—dengan satu dan lain alasan, yang sebetulnya berpangkal pada nihilnya uang akhir tahun, begitulah....

Tampaknya, Reuni ialah buku, yang bila membaca potongan-potongan yang diser oleh Paman Yusi di akun Pesbuknya, sangat menjanjikan sebuah kesenangan. Silakan lihat kulit wajah buku tersebut. Apa yang berkelebatan di kepalamu melihat kulit wajah buku se-tampan itu, selain janji sebuah pengalaman-membaca yang menyenangkan?

Jika Anda masih beranggapan bahwa ‘melihat buku jangan dari cover-nya’, saya akan senang hati mendoakan Anda lekas sembuh dari penyakit kotok ayam dan dapat segera membedakan antara buku ‘asik dan perlu dibaca’ dengan buku yang pantas dijadikan bahan baku pembuat jalan raya.

Memang, tak semua ‘ingin’ lekas terpenuhi, seperti tak semua berahi tersalurkan, itulah mengapa Tuhan memperkenalkan masturbasi, terlebih perihal buku dan bacaan.

Sumber: akun Twitter @bacabanana | 2016

Reuni adalah karya fiksi ketiga Lightman, setelah karya pertamanya yang membuat sembilu pembaca, yakni “Mimpi-mimpi Einsten” (1999) tentang waktu yang melingkar, dan manusia selalu mengulangi kepandirannya tanpa perubahan sedikit pun.

“Bagaimana gerangan mereka tahu bahwa tiap kerlingan rahasia, tiap sentuhan, akan terulang lagi tanpa henti, persis sebelumnya?” tulis Lightman. Sialnya, kalimat itu memburu saya tiapkali tergoda dengan kata ‘resolusi’ (mental).

Baiklah. Saya harus berdamai. Saya akan menyambut tahun baru dengan membaca Mimpi-mimpi Einsten, dan berdoa saya akan berjodoh dengan Reuni, kelak tentu saja, dan legowo bila resolusi yang saya susun melingkar bersama waktu.

Apa boleh bikin. Belum rezeki.

*

MOMEN PERTAMA SAYA membaca Mimpi-mimpi Einsten karya Alan Lightman ialah pada sebuah kereta-komuter dari stasiun Bekasi ke Cisauk, Tanggerang. Saya ingat, ketika itu saya membacanya dengan kondisi laiknya situasi transportasi umum negeri ini: berdesakan dan berhimpitan dengan penumpang dalam posisi berdiri, dan sesekali duduk ketika suasana gerbong lengang, dan kembali berdiri bila kiranya ada penumpang lain yang membutuhkan.

Anda tahu, kondisi itu mempengaruhi proses pembacaan saya. Cerita perenungan tentang waktu yang dikisahkan buku tersebut saya resapi dimana realitas di hadapan saya ialah manusia-manusia yang digerakkan oleh waktu mekaniknya—Lightman menjelaskan, waktu mekanik ialah waktu yang ‘kaku’ dan ‘serupa pendulum besi raksasa yang berayun maju-mundur’ (hlm. 16)—saya bisa mengatakan itu karena gerak-gerik mereka seperti diburu entah-oleh-apa, yang khas masyarakat urban, dan itu mengingatkan saya tentang karakteristik masyarakat Indonesia (modern yang masih terikat dengan tradisionalitasnya) menurut Saya Sasaki Shiraishi dalam Pahlawan-pahlawan Belia—memangada beberapa orang yang saya lihat mencoba mengalihkannya dengan sibuk pada gawai dan earphone yang menyumpal ke telinganya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline