Lihat ke Halaman Asli

Nyemil Upil Sendiri: (Jalan Menuju) Sebuah Ritual Ibadah

Diperbarui: 29 Desember 2016   15:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: ME [nurainidewipratiwi.blogspot.co.id/2013_08_01_archive.html] | 2013

Tanpa sebuah kepalsuan nyemil upil sendiri artinya ibadah…

SAYA PERNAH MEMBACA kalimat itu di salah satu kitab yang disusun seorang Auliyah Tanah Jawi yang menyebarkan agama menggunakan sejumlah media kesenian—karena ia percaya rakyat Tanah Jawi berbudi luhur-sasmita dan nrimo berbagai hal baik yang datang dari belahan bumi manapun, seperti kesenian pementasan lakon ondel-ondel pengusir setan di hari-hari raya keagamaan, dan aktraksi tong setan di hari-hari libur cuti bersama pamong praja, hingga aktraksi topeng monyet di hari biasa—bahwa gila hanyalah ungkapan orang-orang yang tidak mengerti kelakuan dan pikiran seseorang. Oleh sebab itu seseorang disebut gila, dan karenanya menjadi manusia paria, lantas menjadi sebuah amalan baik bila kepalanya kita benamkan ke lubang sarang belut di comberan—tidak peduli ia seorang pembawa perintah Tuhan atau malaikat yang lupa jalan pulang menuju langit.

Di titik ini, kita perlu memahami bahwa penyebutan gila atau tidak, merupakan konstelasi politik-ekonomi 38 naga di sejumlah zaman yang berujung pada pengendali satu pihak terhadap pihak yang lainnya. Sampai di sini, kiranya, Anda perlu mengingat cerita-cerita tentang Abu Jenar—sosok yang akan membuatmu menjadi manusia berbudi luhur-sasmita dan kepadanya cerita ini dihaturkan—yang mampu, dengan izin Tuhan Yang Maha Asik, membuat burung tanah liat hidup dan terbang di ranting-ranting pohon, atau tongkat berubah menjadi ular ketika berhadapan dengan penyihir-penyihir penyembah patung selamat datang, atau membelah sungai yang di tengah terdapat buaya-buaya kelaparan, dan berbagai kemampuan yang diperolehnya karena ia manusia pilihan Tuhan dan ketaqwaanya yang seimbang dengan kesablengannya.

Abu Jenar mati karena terpleset pada sebuah kubangan kencing dan tai sapi di sebuah tanah lapang saat sepulang mengajar bocah-bocah membaca kitab-kitab sakti. Dan mayat Abu Jenar tidak pernah ditemui oleh warga kampung, dan mereka percaya Abu Jenar moksa ke langit dan akan turun ke bumi ketika hari akhir tiba bersama Nabi Isa. Anda tahu, Abu Jenar bukanlah nabi.

Akhirnya, sampai di sini saya akan mengerti, memiliki hobi nyemil upil sendiri yang sudah dioles mentega cair dan ditabur chocochip dan bubuk-gula halus, bukanlah sebuah tindakan gila—melainkan sebuah perlawanan revolusioner-nir-kekerasan laiknya para auliyah, dalam derajat tertentu sosok Abu Jenar, yang menebar benih kedamaian di tanah-tanah kebodohan—terlebih saat Anda lapar berat pada dini hari dan di meja makan hanya ada remah-remah makanan sisa dan pinggiran gorengan, di saat yang bersamaa Anda merasa seolah umat jahiliyah yang malas mengakui bahwa Muhammad adalah utusanNya, karenanya tai adalah sebaik-baik benda untuk dilemparkan ke muka Muhamad.

Bila Anda bisa meyakinkan sebanyak mungkin manusia bahwa hal tersebut adalah perintah agama, maka jalan tersebut tidak lekas menjadi mair—nyemil upil sendiri akan menjadi sebuah ritual ibadah yang elok serupa tapabrata di sebuah gua, atau menari berputar-putar laiknya jarum jam menggunakan jubah sambil merapal asmaul husna, begitulah. Karena hari esok adalah milik kita… Catatlah, tanpa sebuah kepalsuan nyemil upil sendiri artinya ibadah…

Anda harus ingat ujaran bahwa ‘kegilaan yang dilakukan sendiri itu sableng, sedangkan kegilaan yang dilakukan berjamaah itu agama.’ Demikianlah, jalan lapang menuju reformasi ibadah dalam agama menjadi bukan sebuah mara.

Lantas, Anda masih belum bisa membayangkan kalau nyemil upil sendiri itu (bisa menjadi) ritual ibadah? Atau masih ragu bahwa nyemilupil sendiri benar-benar sebuah ibadah yang dapat mengantarkanmu bersua dan mengetuk pintuNya? Atau Anda kurang yakin dengan apa yang sudah dituliskan di atas perihal kegilaan dan nyemilupil sendiri yang dapat dan bisa disebut ibadah?

Sungguh Anda manusia yang merugi, karena tidak pernah mensyukuri nikmatNya.

Nikmat mana lagi yang kau dustakan, Kisanak?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline