Pada tahun 1912, seorang pemuda berusia 28 tahun, yang baru saja pulang dari Tanah Suci untuk belajar agama, bekerja di konsulat sebagai penerjemah, dan menunaikan ibadah haji; setibanya di kampung halaman, ia segera meminang kembang-desa yang telah lama dilamarnya. Selepas menikah, pemuda berusia 28 tahun itu berpesan pada kembang-desa itu, yang baru saja resmi menjadi istrinya: banyak-banyaklah berzikir dan membaca...
Saya rasa, itu bukanlah pesan yang diharapkan di malam pertama; percayalah itu bukanlah pesan suami terhadap istri yang biasa-biasa saja. Mungkin ini pesan teramat penting, dan prinsipil. Sebab pemuda itu berharap pada istrinya, kelak ketika mereka memiliki anak, tidak akan disekolahkan di sekolah formal. Anak-anak akan dididiknya sendiri. Mungkin ini awal dari sebentuk kekecewaan atas sebuah formalitas yang bernama sekolah. Karena sekolah seringkali tak sesuai yang diharapkan. Sekolah adalah taman bermain yang batasannya tak pernah kita bisa mengerti. Taman bermain itu biasanya di luar kontrol pengendali sekolah. Mungkin itu alasan mengapa pemuda itu berpesan demikian.
Kemudian kita tahu, pemuda itu adalah Haji Agus Salim, dan kembang-desa itu—istrinya—adalah Zaitun Nahar. Lalu, sejarah pun mencatat, pasangan itu memiliki delapan anak, yakni Theodora Atia, Yusuf Taufik, Violet Hanisah, Maria Zenibiyang, Ahmad Syauket (meninggal dunia pada masa Revolusi), Islam Basari, Siti Asiah, dan Mansur Abdurrahman Sidik. Dan benar saja, kedelapan anak itu tak ada satu pun yang disekolahkan di sekolah formal, semua dididik oleh sang bapak dan ibunya, di rumah. Ya, di rumah.
Mungkin kita bertanya-tanya: mengapa Haji Agus Salim—seorang diplomat cerdas yang mampu menguasai berbagai bahasa asing, menteri luar negeri pertama negara Indonesia dan sahabat terbaik dan orang kepercayaan Soekarno di masa awal Revolusi dalam urusan berdiplomasi—tak ingin menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah formal? Apa karena Haji Agus Salim tak terlalu percaya dengan pendidikan sekolahan? Apa Haji Agus Salim lebih mempercayai konsep sekolah homeschoolingyang akhir-akhir ini telah trendi? Atau memang hanya karena ia memiliki pengalaman buruk dengan sekolah semasa ia remaja dulu, sehingga tak mau menyekolahkan anak-anaknya di sekolah formal?
Saya tidak tahu pasti. Saya menduga bahwa alasan mengapa salah satu orang kepercayaan HOS Tjokroaminoto—pemimpin Sarekat Islam itu, tak menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah formal adalah wujud perhatian dan cintanya terhadap keluarganya. Ia tidak mau keluarga, termasuk istri dan anak-anaknya, terpengaruh oleh pikiran dan kebudayaan penjajah. Itu dicatat oleh Kustiniyati Moctar dalam bukunya Seratus Tahun Haji Agus Salim(Sinar Harapan, 1984).
Mungkin yang dimaksud Haji Agus Salim sebagai ‘terpengaruh oleh pikiran dan kebudayaan penjajah’ adalah sebuah refleksi atas pengalamannya semasa belajar di sekolah pemerintah kolonial; diskriminasi antara orang berkulit putih dan bukan, penjajah dan dijajah; anak priyayi dan anak petani; begitu kontras dan mencolok. Bahkan hal itulah yang diprioritaskan dan dilanggengkan dalam sistem pendidikan kolonial Belanda. Misalnya hanya kalangan tertentu yang berhak dan pantas menggunakan bahasa Belanda, padahal sebagian besar ilmu pengetahuan termaktub di buku-buku yang berbahasa Belanda. Saya rasa Haji Agus Salim paham betul mengenai ini; itu alasan mengapa Haji Agus Salim menguasai begitu banyak bahasa asing.
Haji Agus Salim menginginkan keluarganya berkepribadian seperti apa yang ia harapkan; menjadi manusia yang sederhana dan berbakti pada bangsa dan negara, serta menjunjung ilmu pengetahuan dan mengamalkan agama Islam sebagai pedoman hidup: sebuah harapan yang ia tidak yakin bisa ditanamkan di sekolah formal (baca: sekolah kolonial Belanda). Haji Agus Salim mengakui, memang tidak semuanya apa yang diajarkan ‘penjajah’ (baca: sekolah kolonial Belanda) itu buruk. Tapi ia tidak terlalu yakin dengan apa yang disebut dengan sekolah. Sebab, sekolah bagi Haji Agus Salim, seharusnya adalah rumah bagi siswa-siswanya, bukan malah menjadi penjara. Oleh karena itu ia sepakat dengan sahabatnya, Ki Hadjar Dewantara; sekolah adalah taman; sekolah adalah membebaskan; lahir dan batinnya.
Sementara itu, sebagai pengganti sekolah, di rumahnya, Haji Agus Salim mengajarkan tulis-baca, bahasa asing, budi pekerti, sejarah, ilmu bumi dan pelajaran agama. Untuk bahan ajar—selain koleksi buku-bukunya yang bejibun—Haji Agus Salim seringkali secara khusus mencari buku-buku bahan ajar ke toko buku loak, atau bila mendapat kabar salah seorang kawan sedang pergi ke luar negeri ia akan meminta tolong untuk mencarikan buku pelajaran; dan Sjahrir dan Hatta adalah dua orang yang seringkali diberikan ‘tugas’ itu. Dengan referensi buku yang beragam dan bejibun itu, ditambah diajar langsung oleh seorang Agus Salim—yang menurut salah satu surat Kartini pada tahun 1898; salah satu pemimpin pribumi yang tercerahkan dan mencerahkan—dengan pengetahuan yang luas, kita bisa membayangkan bagaimana proses belajar di rumah Haji Agus Salim, tentu sangat mengasikkan.
Haji Agus Salim juga mendidik dengan sifat kritis dan korektif. Artinya, ia selalu menghargai sebuah pendapat dan argumentasi yang diajukan oleh anak-anaknya. Haji Agus Salim membawa sebuah kegiatan belajar-mengajar menjadi sebuah dialogis yang mengasikkan. Yang menurutnya, itu mungkin tak didapatkan anak-anaknya bila bersekolah di sekolah formal. Sebagaimana kita ketahui, sekolah kerap diasosiasikan sebagai hal-hal yang menyeramkan, layaknya rumah hantu atau taman pemakaman. Tak terkecuali pada masa di mana Haji Agus Salim dan anak-anaknya tumbuh.
Membaca apa yang sudah dilakukan oleh Haji Agus Salim terhadap keluarganya, terutama anak-anaknya, mengenai pendidikan puluhan tahun yang lalu itu, mungkin ada baiknya kita merenungi pula: apa ‘sekolah’ masih relevan untuk hari ini dan masa depan? Jika iya, bagaimana model dan bentuk sekolah itu?
Lagi-lagi saya tidak tahu. Yang saya tahu, sekitar 30 puluhan tahun lalu, Ivan Illich (1926-2002), pemikir kelahiran Vienna, Austria itu, sudah mengingatkan perlunya kita melakukan—meminjam istilah budayawan-cum-sastrawan Romo Sindhunata mengenai konsep pendidikan Illich—‘de-sekolah-isasi masyarakat’ atau deschooling society. Memang, ada nada skeptis Illich di sini. Illich tak melihat kegunaan sekolah bagi hidup ‘sesungguhnya’ dalam bermasyarakat.