Lihat ke Halaman Asli

Danyang, Hantu Marx

Diperbarui: 15 Maret 2017   16:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ujung abad 20 adalah kiamat bagi sebuah ideologi besar. Hawa murung mengurung Eropa Timur. Keangkuhan Uni Soviet dan Tembok Berlin runtuh tanpa kesangsian sama sekali. Pada masa-masa penuh euforia itulah, sekelompok pemikir berkonsolidasi menelusuri kembali sisa-sisa jejak peperangan, dengan bersandar pada sebuah soal: “Ke mana Marxisme?”

Pertanyaan tersebut tidak muncul begitu saja dari ruang hampa. Adalah The End of History and the Last Man karya Francis Fukuyama, sebagai titik berangkat "Ke manakah Marxisme?" dibicarakan kembali. 

Kolokium itu diadakan tanggal 22 dan 23 April 1993, di Universitas California, Riverside. Pertemuan yang perlu dua sesi pembahasan itu, dibuka dengan kuliah yang disampaikan Jacques Derrida, bapak Dekonstruksionisme asal Perancis. Seluruh diskusi itu berangkat dari kegelisahan Derrida:

“….baru-baru ini saja, saya membaca kembali Manifesto Partai Komunis. Saya dengan rasa malu mengakui: saya tidak melakukannya (membaca) selama berpuluh tahun – dan ini bisa bercerita banyak. Saya tahu benar ada hantu yang menunggu di sana, dan dari sejak pembukaan, sejak terangkatnya layar… kata benda pertama dalam Manifesto itu, dan kali ini dalam bentuk tunggal, adalah ‘hantu’….”

“Satu hantu tengah menggentayangi Eropa – hantu Komunisme (das Gespent des Koomunismus)…,” kutip Derrida dalam Manifesto Partai Komunis. Hantu tersebut masihlah sebuah janji, dan dengan menghibur diri, Eropa lama berharap dengan cemas biarlah itu hanya sekadar retorika belaka. Kala itu diam-diam, mereka sudah membicarakan "Ke manakah Komunisme?" - jika bukan, "Ke manakah Marxisme?"

Syahdan, kecemasan itupun teraktual dan tidak jadi sesuatu yang rahasia. Namun toh lawan-lawan Komunis mengalahkannya. Kejayaan menghampiri para borjuasi setelah badai yang cukup lama. Dan mengilhami Francis Fukuyama berdeklamasi perihal akhir sejarah dan kemenangan kapitalisme.

Fukuyama mengenang Hegel dalam teks itu, bahwa sejarah adalah perjalanan menuju kebebasan; tatkala manusia tidak lagi menghasrati kebebasan, tetapi mengalaminya dalam kenyataan yang tak dapat dibatalkan sama sekali. Kebebasan itu menjelma dalam liberalisme, demokrasi dan pasar bebas: ideologi terakhir dari pertikaian antar peradaban.

Dengan bangga Fukuyama memaparkan eskalasi perkembangan sains dan teknologi dari industrialisasi. Keadaan tersebut hanya mungkin terwujud dalam atmosfer liberalisme dan kapitalisme. Namun disanalah Derrida mematahkan kaki argumentasi Fukuyama secara telak. Tesis Fukuyama diringkus dan diringkas dalam sepuluh hal perusak tatanan dunia baru.

Dari semua keuntungan yang dibawa kapitalisme, akhir dari wacana-wacana pembebasan besar, euforia akhir sejarah dan ideologi terakhir, bisakah kita jangan mengabaikan kenyataan makrospokik yang jelas ini: "...bagaimanapun besarnya tingkat kemajuan, orang tidak boleh mengabaikan bahwa belum pernah dalam sejarah, dalam angka-angka absolut, sedemikian banyak laki-laki, perempuan dan anak-anak ditindas, dilaparkan atau dibinasakan di bumi…," pungkas Derrida.

Pada titik ini, muncullah asumsi, barangkali mereka terlalu tergesa-gesa mengklaim akhir sejarah, karena takut dunia bakal menyadari bahwa kendati Komunis runtuh dan Marx sudah wafat, namun sebagai “hantu”, dia tetap hadir - karena hadir sebagai hantu, dia tidak akan pernah mati. Sebagaimana Derrida pun teringat Hamlet dalam Shakespere. “Masuklah hantu. Keluarlah hantu.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline