Dari sekian banyak pemberian donasi di tempat saya bekerja, penerima donasi ini yang paling sulit untuk dilakukan negosiasi. Kami sebenernya hanya mempunyai posisi sebagai advisor alias pemberi saran sekaligus memastikan donasi yang diberikan dimanfaatkan semestinya sehingga ke depannya penerima donasi bisa merasakan masa depan yang lebih baik.
Salah satu case yang saya tangani adalah seorang ibu dengan anak ODGJ yang dipasung di daerah Barru, Sulsel. Perjalanan donasi untuk membelikan rumah bagi ibu ini sungguh memerlukan ekstra tenaga. Beruntung saya dibantu banyak pihak, fixer dan juga relawan dari MTMA yang berhasil menjaga donasi ini berjalan sesuai amanah. Kami telah memberikan donasi tahap pertama ke si ibu yang Alhamdulillah dia gunakan untuk membuka usaha warung kecil-kecilan.
Kami datang dan disambut begitu hangat dengan pelukan. Lalu kami mendengar cerita ibu yang mengalami kesusahan karena banjir sekaligus terharu dengan banyaknya para pendonor yang membantu ibu. Rumah si ibu sudah tidak layak dan akhirnya dia menumpang di rumah anaknya yang lain.
Di lain pihak, kami sebenarnya merasa sedikit bimbang karena ibu pun cerita anaknya sudah sarjana dan banyak yang tinggal merantau. Lalu tega kah anak-anak ibu lainnya meninggalkan ibu ini merawat sendirian anak bungsungnya yang ODGJ dengan rumah yang kebanjiran terus.
Kemudian, ibu mengatakan mau membeli rumah tetangganya yang tak jauh dari rumahnya. Rumah itu adalah rumah panggung dan rumah warisan yang belum jelas pembagiannya. Tentu saja ini akan jadi masalah ke depannya, kecuali rumah itu sudah jelas kepemilikannya sehingga bisa dibuat surat di atas hitam putih. Saya pun menyampaikan hal ini ke ibu. Alangkah lebih baik jika membuat rumah saja daripada membeli rumah yang belum jelas hukumnya.
Kami juga mengecek kondisi rumah tersebut yang ternyata merupakan rumah lama. Tentu ini akan membutuhkan biaya renovasi lagi apalagi ibu ingin toilet yang ramah disabilitas. Saya bilang apa mungkin cukup donasi membeli rumah dan merenovasi lagi dengan donasi yang didapat. Anehnya si ibu ini kekeuh mau membeli rumah itu. Saya pulang dan belum memberikan donasi tersebut karena saya harus melapor terlebih dahulu ke atasan.
Hingga saya terus menerus mendapat desakan agar mau donasi diberikan kepadanya untuk membeli rumah. Saya sarankan agar si ibu memastikan lebih dahulu kepemilikan rumah tersebut, si ibu dan anaknya pun kerap mengubah ubah harga rumah yang mau dia beli. Insting saya pun merasa semakin ganjil. Sepertinya si ibu membaca kecurigaan saya dan akhirnya dia mengalah dan mulai menyetujui ide membangun rumah baru saja.
Selepas itu, satu demi satu donasi diberikan dan dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan pembangunan rumah. Sungguh, sebagai pengelola dan penyalur donasi, saya pribadi ingin semua donasi atas hati yang tulus ini terjaga marwahnya. Alhamdulillah, rumah si ibu jadi bahkan donasinya masih bersisa. Sungguh negosiasi alot dan juga insting serta problem solving teruji di sini. Doakan saya semoga bisa terus melalukan pengelolaan donasi dengan baik agar masa depan pm semakin baik. Cerita setelah ini sungguh memilukan, jadi terus bersama saya di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H