Lihat ke Halaman Asli

Mustyana Tya

Penulis, jurnalis dan linguis

Perseteruan Pasutri Perbatasan hingga Gelapnya Perairan Natuna

Diperbarui: 14 Januari 2024   10:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok pribadi 

Akhirnya puncak liputan kita di Pulau Laut selesai juga dan saatnya kembali menuju Ranai, Natuna. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini kepulangan kita bersama dengan beberapa orang warlok, termasuk juga pasutri dan anak-anaknya. Si ibu ini tergeletak tak berdaya lantaran habis keguguran dan karena terjadi komplikasi kesehatan yang tak bisa ditangani bidan makanya dirujuk lah ke RSUD di Ranai.

Sebagai informasi, tidak ada dokter kandungan ataupun dokter lainnya di Pulau Laut ini. Cuma ada seorang bidan dan itupun datang bersama kita beberapa waktu lalu. Dengan selang infus yang menjuntai, si ibu cuma terbaring lemah sembari menahan nyeri. Sementara saya sudah siap-siap menenggak antimo supaya bisa tidur nyaman di perahu dan tidak mabuk lagi dihantam ombak laut.

Hingga tidur lelap saya mendadak lenyap, gegara pasutri ini bertengkar. Saya yang masih dalam posisi mengerjap-ngerjap ikut mendengarkan perseteruan ini. begini kira-kira pertengkarannya,

dok pribadi

Istri: Ini dong urus anaknya, masa saya semua (anaknya yang kecil menangis rewel). Kamu tuh bisanya apa. Semua-semua saya yang kerjain.

Suami: Sabar-sabar

Istri: Kalau kayak gini pisah saja lah.

Suami: Kamu kalau punya mulut dijaga, ngomong sembarangan aja (lalu si suami keluar dengan anaknya yang masih meraung-raung).

Saya yang udah dalam posisi melek tetapi belum sadar betul apa yang terjadi lalu mengumpulkan tenaga untuk keluar dari situasi yang rumit ini. Si istri makin terisak sembari menahan perih dan saya sadar dia malu mempertontonkan peliknya rumah tangganya di hadapan saya.

Saya memutuskan keluar dek kapal dan bergabung dengan teman-teman saya yang sudah sedari tadi bangun menikmati langit yang semakin sore semakin cantik. Langit menjadi orange dan ungu kemudian gelap.

dok pribadi 

Tak ada penerangan yang memadai selain lampu tembak di kapal. Lampu ini rupanya membuat ikan-ikan berkumpul di sisi-sisi kapal kami hingga awak kapal membawa kabar kurang menyenangkan. Katanya, kapal kami tak bisa merapat ke daratan karena airnya surut. Jadi kita harus tunggu dulu kapal katingting yang lebih kecil menjemput kita.

Saya lebih khawatir dengan sang ibu karena kondisinya lemah apalagi tenaganya habis untuk menangis dan bertengkar dengan suami. Tentu bukan hal yang mudah menjadi warga perbatasan yang apa-apa sulit plus ditambah dengan ketiadaan akses dan layanan kesehatan. Semua orang jadi stres dan gundah gulana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline