Hari ketiga di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara, kami kembali ke Desa Rumadian untuk proses syuting pengambilan buah bakau. Ini penting untuk menjelaskan proses pembuatan snack buah bakau yang dinilai ekstraordinari alias gak biasa. Buah bakau jenis Bruguiera gymnorrhiza alias lindur yang bentuk memanjang dan mirip sama kelamin laki-laki ini nyatanya bisa diolah jadi kayak cheese steak dengan rasa yang hampir sama.
Pengolahannya lumayan ribet karena harus direbus lama untuk menghilangkan racunnya juga. Sama seperti proses pengolahannya, syuting yang dijalani kita pun luar biasa. Gimana gak, pas sampe kita harus luntang-lantung menunggu naiknya air sampai melewati tengah hari, air tak kunjung naik. Sebabnya kita harus naik perahu menuju pohon bakau yang mencolok ini. Patut diketahui juga, saya bersama banyak ibu-ibu yang ramainya bukan main hahaha. Mereka suka banget tertawa dan itu menular. Sebagai pendamping desa, mereka pun ditugaskan untuk menemani kita selama kita di Kei.
Setelah tercenung hampir 2 jam, akhirnya kami optimis meski sebenernya halu bahwa air sudah naik tapi kami harus menuju perahu yang mengapung di tengah dengan berjalan kaki. Saat itu, air masih sebetis saya jadi tidak memungkinkan perahu menjemput kami di dermaga. Jadi terpaksa deh nyelup, udah angkat celana sampai betis pun tetap masih basah. Bukan cuma basah, sendal jepit swallow yang menempel di kaki juga harus menahan tajamnya karang-karang. Saya pun jalan harus tertatih-tatih, beuh sakit! Tapi si ibu-ibu girang ini cepet banget jalannya sampe saya ditinggal. "bu.. bu! saya minta ditungguin"
Setelah sampai perahu kita duduk nyaman nih, eh pas udah siap jalan malah perahunya ga bisa jalan. Padahal udah segala penjuru didorong pakai kayu dari depan dan belakang. Fix! nyangkut! Yaudalah, bukannya kita bantuin malah kita kompak ngakak serentak. Setelah puas ketawa, baru sadar udalah kita turun aja dan meneruskan perjalanan dengan kembali nyelup sampai ke daratan sebelah yang kira-kira jaraknya itu 200 meteran. Lagi-lagi bukan cuma soal karang yang runcing bagai gigi gigi hiu ini plus saya juga harus menghadapi arus air yang masih garang. Alhasil udah tertatih plus terseok, mungkin swallow saya sudah gak tahan lagi akhirnya dia menyerah pada arus. Tinggal saya yang teriak-teriak "yah yah sendal saya hanyut" hahaha...
Semua pun langsung sigap ngubek ngubek itu air dan nihil. Sampai-sampai satu orang ditugaskan buat nyari dimanakah sendal saya. Saya pun harus kembali fokus ke kerjaan foto sana-sini dan mencermati bagaimana proses pemetikan buah bakau ini berlangsung. Satu langkah hingga 10 langkah saya udah gak kuat bertelanjang kaki, merah semua. Sampai seorang ibu bilang, pakai sepatu karet dia saja. Lah saya khawatir, dia juga mengalami kesakitan yang sama etapi saya takjub karena dia jalannya enteng banget. Waduh. Ini gw yang lebai apa emang dia sakti!
Lagi terpana gitu, teman saya yang biasa tak pernah minta foto, tiba-tiba kepengenan. Eh emang bagus ya. Setelah proses syuting selesai, saya kembalikan sepatu si ibu sembari mengeluh ke sekre saya mau beli sendal lagi wkwkw. Abis dari sini, agenda kita adalah kunjungan ke Goa Hawang alias Gua Hantu. Gua ini masih di kabupaten yang sama dan dikelola sama kepala desanya. Kami masuk ke sana dan harus jalan lagi menuju gua. Sebenernya pak kepala desa sudah berusaha menyiapkan macam-macam infrastruktur tapi lagi-lagi ga terawat bau pesing, debu di mana-mana, becek, hmm... Temen saya sudah semangat benar ke sini sambil bawa baju renang.