Selepas menunaikan tugas liputan yang digeber tanpa henti saatnya menikmati Cirebon sesungguhnya. Sebenarnya saya sudah beberapa kali browsing tentang Cirebon, tapi enggak afdol kalau enggak tanya sendiri sama orang asli Cirebon.
Yang terdekat ya tukang becak yang mengantar saya. Sembari menyusuri jalanan sempit saya bertanya soal wisata terdekat di Cirebon kota. Saya tanya pantai katanya ada di sekitar sana, tapi sebenarnya itu bukan pantai melainkan pelabuhan namun orang Cirebon biasanya ke sana untuk melihat laut.
Uniknya saya berkomunikasi dengannya pakai bahasa Indonesia setengah Jakarte deh dan dia menggunakan bahasa Cirebon yang merupakan perpaduan dari bahasa Sunda dan Jawa serta sedikit nuansa Tegal. Tambah lucu karena seolah-olah saya mengerti setiap jawaban si bapak yang dilemparkan pakai bahasa itu. Haha saya baru sadar terakhir-akhir kita tetap nyambung meski pakai bahasa berbeda wkkwkwk.
Saya sempat mampir di pinggir jalan untuk beli batu akik untuk ayah saya. Dan ternyata bapak becaknya juga suka batu akik. Dia memberi rekomendasi mana batu akik yang bagus sekalian membantu menawar. Eh dia juga ikutan beli dan pamer kalau batu akik yang berwarna biru kelap kelip itu bagus. Saya mengangguk-angguk aja, wong saya juga enggak ngerti mana batu akik yang bagus hahahahah..
Dengan kesepakatan harga Rp 40 ribu dia rela mengantar saya ke pelabuhan dan lanjut nanti malam membeli nasi jambal yang paling maknyos di sana.
Pada dasarnya Cirebon adalah kota yang panas dengan sedikit sekali destinasi wisata di dalamnya. Awalnya saya diajak keliling kota tua ala-ala Cirebon yang merupakan bekas bank pemerintah Belanda dulu yaitu De Javanesche Bank, ada juga kantor pos sampai gereja yang ada di area Jalan Yos Sudarso. Gak jauh dari situ ada bekas pabrik rokok di zaman yang sama British American Tobacco yang masih bagus-bagus.
Tidak jauh dari sini ada pelabuhan yang saya bilang tadi ada pantainya, dan tau-taunya..... jreng-jreng saya planga plongo. Sebenarnya pelabuhan ini milik Pelindo II yang enggak bisa sembarang masuk untuk wisata hahaha, tapi kayaknya si bapak becak dan orang Cirebon lainnya udah biasa jalan-jalan di sini sambil naik motor. Saya sempat bingung pantainya sebelah mana karena di sekitar cuma ada kapal-kapal bekas sampai bangunan tua yang enggak terawat. Sayang.
Jalan sekitar 300 meter baru nemu air yang secara harfiah maksudnya pantai. Lagi-lagi saya kecewa karena kotornya nauzubillah. Bahkan airnya buat nyuci kapal, airnya cokelat sampai hampir hitam sampah dimana-mana. Mengerikan deh. Pantainya juga gak ada pasir adanya ilalang. Jadi menyadari pantai bukan cuma yang ada pasirnya hahaha
Di sini saya juga kenalan dengan dua wanita Cirebon asli yang tengah jalan-jalan ke Cirebon. Mereka juga melengkapi bahan liputan saya. Traveling itu emang harus menyesap semuanya, budaya, makanan, orang-orangnya pokoknya semuanya.
Saya sedih melihat pantai milik Cirebon ini. Ya, kalau udah pantai enggak begitu bagus jangan ditambah kotor sama sampah lah. Makanya Cirebon menurut saya termasuk tempat yang mungkin enggak akan saya kunjungi lagi. Selain karena mistisnya kental, daerah ini hampir enggak punya tempat atau alam yang bagus, kecuali orang-orangnya yang ramah seperti kebanyakan daerah di Indonesia lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H