Lihat ke Halaman Asli

Tyas

---

Tunjangan Hari Raya (THR) Tidak Merata, Lemahnya Jaminan Negara Atas Kesejahteraan Pegawai

Diperbarui: 18 April 2024   20:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebagai sebuah negara yang mengklaim memperjuangkan keadilan sosial, ketidakmerataan ini tidaklah hanya sebuah permasalahan administratif, tetapi juga moral.

Pada setiap tahunnya, kita menyaksikan bagaimana THR menjadi momok bagi banyak pekerja di berbagai sektor. Meskipun telah diatur dalam undang-undang, implementasinya masih jauh dari harapan. Banyak pekerja informal bahkan tidak mendapatkan THR sama sekali. THR bukanlah sekadar bonus, tetapi bentuk penghargaan atas jerih payah dan kontribusi pekerja terhadap perusahaan dan ekonomi negara.

Selain itu, lemahnya jaminan Negara atas kesejahteraan pegawai juga menjadi sorotan yang perlu segera diperbaiki. Jaminan kesehatan yang tidak memadai, ketidakpastian akan pensiun, dan minimnya perlindungan terhadap pekerja yang terkena PHK adalah beberapa contoh dari banyaknya masalah yang masih menghantui para pekerja di tanah air.

Negara memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk melindungi kesejahteraan rakyatnya, termasuk di dalamnya adalah memberikan jaminan atas hak-hak dasar pekerja.

Pemerintah perlu bertindak tegas dan konsisten dalam menegakkan keadilan sosial, termasuk dalam hal pemberian THR yang merata dan meningkatkan jaminan kesejahteraan bagi semua pekerja. Kesejahteraan rakyat adalah cermin dari keberhasilan sebuah negara dalam mewujudkan cita-cita dan prinsip-prinsip konstitusionalnya.

Diantara pekerja yang tidak mendapatkan THR adalah pengemudi ojek online (ojol) dan kurir. Status mereka bukan karyawan dari perusahaan, melainkan sebagai kemitraan. Alhasil, mereka tidak termasuk pekerja yang berhak mendapatkan THR berdasarkan Permenaker No. 6/2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyatakan baru akan merumuskan aturan THR untuk pengemudi ojol pada Mei 2024. Artinya, untuk tahun ini, para pengemudi ojol tidak mendapatkan THR.

Mirisnya lagi, nasib para pengemudi ojol dan kurir ini merupakan akibat akad kerja yang zalim. Posisi para pengemudi ojol dan kurir sangat lemah karena mereka adalah pihak yang membutuhkan pekerjaan, sedangkan perusahaan aplikator sebagai pemberi kerja. Sedangkan di dalam sistem kapitalisme, posisi pekerja sangat lemah karena perusahaan memiliki modal yang besar sehingga memiliki kuasa. Istilah "lu punya duit, lu punya kuasa" berlaku di sini.

Di dalam Islam, pekerja dan pemberi kerja harus membuat akad terkait pekerjaan, termasuk upah yang diberikan. Keduanya harus sepakat dengan saling rida atas akad tersebut sehingga tidak ada pihak yang terzalimi. Oleh karenanya, ada tidaknya THR bagi pekerja tergantung pada isi akad tersebut.

Dalam pelaksanaannya, kedua belah pihak wajib memenuhi akad. Pekerja wajib bekerja sesuai dengan tugas pokoknya. Sedangkan pemberi kerja wajib memberikan hak pekerja. Jika ada sengketa di antara keduanya, negara berperan untuk menyelesaikan.

Tugas untuk mengurusi urusan rakyat bukanlah tugas perusahaan. Karena hubungan pekerja dan pemberi kerja hanyalah sebatas hubungan kerja atau hubungan pengupahan. Islam memandang persoalan tentang kesejahteraan bagi pekerja seperti jaminan pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan) bukan menjadi tanggung jawab perusahaan, melainkan tanggung jawab negara (pemerintah). Hal ini karena penguasa adalah pengurus bagi rakyatnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline