Lihat ke Halaman Asli

Layang-layang Wakil Rakyat

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga orang anak laki-laki tengah bermain layang-layang di sawah yang padinya baru saja dipanen. Cuaca terik menyengat siang itu, tapi mereka tak peduli. Kulit yang menghitam bukan masalah. Bagi mereka, masalah adalah ketika tidak mengerjakan PR Matematika kemudian dihukum mengerjakan soal di papan tulis yang berwarna hitam dan masih menggunakan kapur untuk mengguratkan kata yang bermakna.

Bersamaan mereka menengadah mamandang matahari yang sedang tegas bersinar – tidak seperti bapak pemimpin negeri kini yang wara-wiri pergi tapi tak kunjung mengambil keputusan masalah swasembada pangan sehingga mereka terpaksa makan nasi impor yang rasanya hambar. Sekilas mereka bisa melihat gambar di layang-layang yang tengah mereka mainkan di tengah angin yang damai meniup sudut mata – tak seperti sikut-sikutan di kursi legislatif sana.

Gambar di layang-layang yang tengah mereka terbangkan melukiskan bentuk wajah manusia yang tengah tersenyum. Bukan gambar pahlawan super yang ada di halaman belakang buku Atlas. Satu layang-layang berwarna dominan biru, terdapat gambar laki-laki berpeci hitam mengenakan jas yang berwarna biru pula. Si anak yang menerbangkan layang-layang biru itu mengenal sosok yang tengah terbang di langit biru itu sebagai tetangganya, mantan penjudi yang tak lelah mengadu keberuntungan sampai kini mempertaruhkan harta yang dimilikinya dari berjudi untuk kembali diadu di pemilihan wakil rakyat pertengahan tahun ini. Orang yang biasanya petantang-petenteng memamerkan harta hasil pertaruhan meja rolet murahan itu kini tersenyum hambar dan mendengarkan keluhan tetangga si anak dengan sabar.

Tak biasanya begitu. Si anak hanya melihat dari kejauhan, kadang menguping dari balik dinding yang memisahkan ruang tamu dan ruang keluarga dimana ia menonton sinetron di televisi tetapi mendengarkan sinetron sungguhan di ruang tamu rumah orangtuanya. Penjudi yang tak kapok berjudi itu memaparkan banyak hal pada ayahya yang petani. Katanya, nanti jika ayah memilih dia, maka pupuk gratis siap dibagikan selama satu tahun penuh, belum lagi tawaran koperasi yang lunak bunganya untuk investasi agar si anak bisa sekolah sampai perguruan tinggi. Segala obrolan itu kemudian berbuih membawa sampah bagai di bibir pantai. Ayahnya terkantuk-kantuk mendengarkan ocehan si penjudi, namun menerima sembako yang diantarkan. Pikirnya, lumayan untuk tambahan makanan esok.

Anak yang lain menerbangkan layang-layang berwarna hijau, bergambar wanita bergincu merah tebal dan tersenyum lebar. Wanita itu pedangdut yang tenar sekitar lima tahun lalu. Kebetulan si anak dan pedangdut itu bertetangga. Dari ucapan ibunya ketika menimba air sumur untuk mencuci pakaian, diketahuinya bahwa pedangdut itu mengenakan jilbab kini. Jilbabnya besar dan berwarna-warni, ibunya kerap berkata bahwa ia ingin jilbab seperti itu juga.

Keesokan harinya anak itu melihat ibunya mematut diri di depan cermin mengenakan jilbab yang warna dan lebarnya sama dengan milik pedangdut itu. Katanya, pagi tadi pedangdut itu membagikan jilbab yang sama agar ibu-ibu di sekeliling rumahnya bisa berpenampilan sesuai ajaran agama dan tetap cantik. Hanya saja, ibunya mengeluh bahwa kepalanya panas ketika ditutupi jilbab itu, kelihatannya berbeda dengan milik si pedangdut yang terlihat sejuk di kepala. Ketika dibalik, terlihat kain merek bertuliskan “Made in China”. Karena jilbabnya lebar dan taplak ruang tamu sudah terlihat kumal, maka jilbab merah jambu itu bertugas menghias meja kotak buatan abang-abang di simpang pasar becek yang tak jauh dari rumah. Akhirnya, ibunya kembali berangkat ke masjid dengan jilbab yang dimilikinya yang lebih adem di kepala.

Anak ketiga menerbangkan layang-layang berwarna dominan kuning bergambar seorang lelaki yang telah lama dikenal sebagai pendemo kala reformasi digembar-gemborkan. Lelaki itu kemudian dikenal sebagai wakil rakyat di ibukota. Rumahnya besar, anak-anaknya memiliki alat permainan konsol yang kadang dilirik penuh minat oleh anak itu ketika berkunjung ke rumah besarnya, kebetulan mereka satu kelas. Sayangnya, anak lelaki wakil rakyat itu tak pernah mau bermain layang-layang bersama dia dan teman-temannya di sawah yang padinya baru saja dipanen. Katanya, dilarang oleh ibunya karena bisa terkena penyakit serangan panas yang membuat muka merah. Pernah sekali anak itu dituntun oleh bapaknya yang wakil rakyat itu untuk bermain layang-layang karena bapaknya hendak mengobrol dengan petani yang tengah bersantai di saung usai panen. Namun baru saja layang-layang mereka terbang di angkasa, hujan turun dan petir menyambar bumi. Ayahnya tetap berpidato, anaknya termangu sendirian di sampingnya.

Ketiga anak itu menengadah bersamaan, memandang layang-layang tiga warna yang tengah terbang mengangkasa. Mereka tak pernah tahu kalau tiga orang yang ada di layang-layang itu ingin terbang juga dan memandang mereka dari atas. Setiap layang-layang ingin terbang tinggi, kalau tidak terbang bukan layang-layang namanya. Namun tiba-tiba layang-layang yang mereka terbangkan saling membelit. Kebetulan mereka tengah menggunakan benang yang dicampur pecahan kaca sehingga saling mengiris satu sama lain. Layang-layang tiga warna itu terbang tinggi dan meninggalkan tiga anak yang menganga karena terkaget-kaget.

Tiga anak itu saling berpandangan dengan sedih, kemudian tertawa dan mengemasi sisa benang yang mereka miliki. Sore menjelang, saatnya pulang dan mengaji di masjid.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline