Lihat ke Halaman Asli

Partisipasi Kaum Muda dan Masa Depan Indonesia

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun depan, demokrasi Indonesia yang diperjuangkan pendahulu bangsa kembali diuji. Rakyat Indonesia akan memilih wakil dan pemimpinnya. Negara juga diprediksi tidak akan berjalan dengan normal karena akan dilanda tahun politik. Di tengah carut marut Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, sejumlah masalah melanda mulai dari kisruhnya Daftar Pemilih Tetap, kisruh di tubuh Mahkamah Konstitusi (MK) yang bertugas mengawal hukum Pemilu, dan apatisme kaum muda.

Slogan “pemuda adalah pemegang estafet kepemimpinan” seolah sudah basi dan hilang ditelan jaman. Teknologi dan informasi melanda menyebabkan efek besar bagi kaum muda di negeri ini. Kemudahan akses informasi membuat kesalahan demi kesalahan yang dilakukan wakil rakyat dan pemimpin mudah didapatkan publik. Media juga membuat agenda setting yang terus menampilkan dosa-dosa pemimpin bangsa.

Dengan adanya arus informasi tersebut, kaum muda seolah ikut terseret dalam arus ketidakpercayaan. Anak muda yang digadang-gadang sebagai “pemimpin bangsa” memilih bersikap tidak peduli karena muak dengan segala janji-janji politik yang dibarengi politik uang, geram dengan korupsi uang mereka yang sudah dipercayakan untuk membangun bangsa, dan tidak merasakan perubahan signifikan dari sistem demokrasi yang telah diperjuangkan sebelumnya. Kaum muda muak, hal itu berdampak pada lahirnya stigma bahwa tidak memilih (golput) adalah tindakan keren. Kaum muda merasa menang karena tidak memilih siapapun untuk memimpin mereka, dan memutuskan untuk memimpin dirinya sendiri dengan caranya sendiri.

Hal ini sudah terlihat dalam dinamika pemilihan umum yang akan dilaksanakan tahun depan. Pihak yang ribut, bertikai, aktif bersuara dan berpendapat adalah muka-muka lama yang memiliki ambisi tertentu dalam memperoleh kekuasaan keuntungan. Kaum muda memilih menyingkir dari riuh rendah Pemilu 2014 dengan sibuk sendiri di jejaring sosial, bersukaria dan bercengkerama dengan kawan-kawan yang memiliki satu pandangan – yang jumlahnya tidak sedikit.

Padahal Pemilu 2014 adalah momen penting untuk mengubah bangsa. Indonesia kembali memilih setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak bisa mencalonkan dirinya kembali dan harus digantikan oleh orang lain – yang diharapkan bisa mengubah kebijakan demi kebijakan yang dinilai mengecewakan selama dua periode ke belakang. Jika Indonesia salah memimpin wakil rakyat dan pemimpin bangsa tahun depan, negeri ini akan semakin kehilangan kesempatan untuk memperbaiki diri dan berkompetisi dalam dunia.

Politik sudah terlanjur dianggap menjijikkan, terlalu high class, penuh tipu daya, tidak mudah dipahami, dan kotor. Padahal merujuk ke istilah asalnya, politik adalah salah satu cara untuk membuat sebuah bangsa maju. Indonesia bisa ada, bertahan, dan maju juga karena politik yang digagas dan diperjuangkan oleh pahlawan dan pendiri bangsa. Generasi tua harus diakui salah langkah dalam menerjemahkan cita-cita pendahulu dengan mempraktikkan politik yang merusak kepercayaan masyarakat. Namun jaman terus bergerak, kini Indonesia harus dipimpin oleh generasi yang muak oleh kesalahan dan dosa masa lalu tersebut. Generasi yang muak itu harus berhenti mencerca dan memaki untuk bergerak demi menyongsong masa depan yang lebih baik. Ketika semua anak muda muak dengan istilah “omong doang”, tanpa sadar mereka adalah orang-orang yang “cuma bisa omong doang” dan meneruskan budaya “omong doang” yang sudah mengakar.

Calon wakil rakyat dan calon pemimpin harus melihat fenomena ini secara kolektif dan menyajikan solusi perubahan holistik yang melibatkan kaum muda agar turut berpartisipasi terhadap jalannya negeri ini. Jangan jadikan kaum muda sebagai “pasar suara” semata. Libatkan kaum muda dalam gerakan strategis kreatif yang bisa memberikan pendidikan politik bersih dan berintegritas tinggi. Dengan adanya kegiatan seperti itu, kaum muda tak akan lagi punya waktu untuk “omong doang”.

Kemudian beri contoh yang baik pada kaum muda agar pemimpin bisa dipercaya dan menjalankan kewajibannya melayani rakyat dengan dukungan penuh dari rakyat. Demokrasi bisa berjalan dengan sempurna. Jika tidak ada partisipasi penuh, selamanya demokrasi yang dianut Indonesia adalah demokrasi cacat.

Perlu disadari oleh kaum muda bahwa ketika mereka menghilangkan haknya untuk memilih, mereka juga kehilangan haknya untuk protes. Arus demonstrasi dan penyaluran aspirasi tidak akan ditanggapi karena wakil rakyat atau pemimpin juga tidak akan mendengarkan orang yang tidak memberikan mandat pada dirinya. Jika proses alih mandat berjalan dengan baik, maka wakil rakyat atau pemimpin juga akan bertanggung jawab terhadap tugas-tugasnya melayani rakyat.

Indonesia sudah terlalu lelah dengan konflik. Sayang sekali jika bangsa ini kembali didera konflik berkepanjangan selama periode kepemimpinan baru yang akan berjalan tahun depan. Seperti jargon lama, “perubahan tak akan terjadi jika tidak diusahakan”, hal itu jugalah yang akan terjadi pada Pemilu 2014 jika masih saja ada orang-orang yang tidak menghendaki perubahan, dan tingkah wakil rakyat dan pemimpin yang tak kunjung berubah. Perlu upaya sinergis untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang maju dengan aktifnya kaum muda dalam membuat perubahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline