Potret pendidikan kita kembali menampilkan pose suramnya. Sampai tulisan ini diterbitkan, dalam kurun waktu satu tahun terakhir, tidak kurang dari 14 korban tewas akibat tawuran antar pelajar, baik yang turut aktif dan terlibat langsung, atau murni korban acak pelampiasan ego pelaku. Masalah eksistensi, tradisi dan dendam yang turun-menurun seakan-akan tak kunjung habisnya. Dalam kasus pembacokan Alawy, pihak yang berseteru adalah SMA N 6 dan SMA N 70 yang notabene merupakan sekolah favorit dan bonafit. Melalui penuturan alumni dari kedua sekolah tersebut, bebagai upaya telah dilakukan untuk meredam dan menghentikan tradisi tawuran antar kedua sekolah tersebut, antara lain melalui ksepakaan bersama seerti ikrar damai, sampai diadakannya kegiatan bersama, akan tetapi, msih kata alumni tersebut, memang ada generasi yang terselamatkan, ada yang tidak. Berbagai opini telah digelintirkan, menurut Wakil menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang pendidikan, perlu dijatuhkan sanksi kepada pihak sekolah untuk membuat sekolah dan guru berupaya lebih keras membenahi persoalan tersebut (Kompas, 26 September). Pendidik Arief Rachman pun berpendapat bahwa jika pelaku harus dipidanakan. Perlu diselidiki dimana letak kesalahan dari seluruh kejadian yang bertubi-tubi ini.
Selama proses hukum berjalan, berbagai pihak sepantasnya berbenah diri terhadap kejadian ini. Perlu adanya koreksi dan evaluasi sistem pendidikan, maupun sistem keamanan yang digawangi oleh kepolisian bekerjasama dengan kementrian pendidikan untuk mengantisipasinya. Merujuk pada salah satu faktor, yaitu lemahnya pengawasan pihak sekolah terhadap berbagai gejolak yang terjadi di antara para muridnya, kejadian tawuran yang diadakan di luar sekolah terkadang menjadi alibi lepas tangannya pihak sekolah terhadap kejadian ini. Padahal, menurut penuturan mantan pelaku tawuran, justru koordinasi untuk melakukan penyerangan biasanya dilakukan di lingkungan sekolah. Peran guru dalam membina pun tidak dapat dikesampingkan. Menurut Iwan Pranoto, Profesor Matematika dan Ilmu Pengetahuan ITB, tidak sepantasnya guru berharap semua muridnya menjadi baik. Justru sepantasnya guru harus menjadi orang terakhir di muka bumi yang tidak percaya dengan ekmampuan memperbaiki diri muridnya. Merujuk pada perkataan kepala sekolah SMA N 70 Bulungan, jika tersangka pembacokan Alawiy terbukti bersalah, pihaknya akan memberi sanksi dengan mengeluarkan anak tersebut. Perkataan ini patut disayangkan, karena hal ini seperti upaya berlepas tangan, jika tidak dapat diaktakan melarikan diri. Dampak negatif dari dikeluarkannya anak tersebut justru akan semakin besar dibandingkan dengan pembinaan, dan pendampingan yang intensif. Anak tersebut akan dibiarkan larut dalam pola pemikiran yang salah, dan alih-alih akan hanya memperpuruk masa depan sendiri, dengan dikeluarkannya anak tersebut, masa depan orang lain yang dipengaruhi ikut dipertaruhkan. Justru sepantasnya pihak sekolah dapat mendidik dan membina muridnya dalam upaya memperbaiki diri. Tidak adanya jaminan bahwa pola pengajaran dan pembinaan sekolah tidak turut andil dalam peristiwa ini membuat pihak sekolah sepatutnya introspeksi. Jikapun hukuman pidana telah dijatuhkan, pihak sekolah sepantasnya mendampingi hingga anak tersebut selesai mengikuti jenjang pendidikan di sekolah tersebut. Konseling dan pembinaan terpadu bersama orang tua dapat menjadi dalah satu opsi dalam pembinaan nanti.
Akhirnya, kejadian-kejadian ini hanya merupakan dampak permukaan gunung es yang kita saksikan. Adanya sebab akibat dan banyak sisitem yang terlibat di dalamnya memerlukan upaya perommbakan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Kita tidak mau benih-benih emas di negara kita hanya tumbuh setinggi pohon tauge atau justru menjadi busuk ketika tumbuh, bukan?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H