Lihat ke Halaman Asli

Resistensi Antibiotik: Berbahaya dan Perlu (Dicari) Solusinya

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy


Suatu peternakan selayaknya memperhatikan dua aspek manajemen yang penting, yaitu manajemen pemeliharaan serta manajemen kesehatan. Manajemen pemeliharaan menyangkut segala aspek yang terkait dengan tata cara pembesaran atau budidaya, sedangkan manajemen kesehatan mencakup seluruh upaya agar didapatkan hewan yang sehat dan bebas dari segala penyakit. Terkait dengan manajemen kesehatan, disadari atau tidak, upaya pencegahan maupun penanggulangan penyakit dengan menggunakan berbagai macam jenis obat, terutama antibiotika, tenyata mempunyai berbagai efek samping yang tidak kita sadari, satu efek sampingnya adalah resistensi antibiotik. Momok menakutkan yang sudah menjadi perbincangan sejak lama ini juga dapat bersumber dari segi manajemen pemeliharaan yang tidak kita sadari mempunyai efek tidak langsung, yaitu penggunakan antibiotik pada pakan sebagai pemacu pertumbuhan (growth promoter) dan imbuhan pakan (feed additive).

Sering Tak Disadari

Peternak, yang biasanya mempunyai pengetahuan yang terbatas tentang kefarmasian dan aturan penggunaan obat biasanya manut dengan apa yang ditawarkan dan dianggap baik bagi mereka. Kasus pada peternakan dengan pola kemitraan contohnya, paket obat yang ditawarkan, antar lain antibiotik, akan langsung digunakan untuk gejala penyakit yang dianggap sesuai dengan suatu jenis antibiotik tersebut.  Anjuran dan pengawasan penggunaan obat, baik dari dokter hewan misalnya atau petugas lapangan terkadang tidak diterapkan baik karena pertimbangan feeling atau sisi ekonomis. Indisipliner ditunjukkan dengan penggunaan antibiotik yang terus-menerus selama hewan dirasa belum sembuh serta penghentian antibiotik ketika hewan sudah tidak menunjukkan gejala padahal masa pengobatan belum habis. Belum lagi, berbagai paradigma yang salah justru makin digemari karena efek semu menguntungkan, Penggunaan antibiotik murni, tanpa merek dagang yang digandrungi karena harganya yang lebih murah dan diklaim lebih manjur. Aturan hukum tentang kelegalan dan penggunaan obat keras pun dilangkahi contohnya dengan dosis yang dibuat hanya berdasarkan pengalaman dan menyalahi aturan pakai. Hal-hal tersebut merupakan berbagai tindakan yangdapat menyebabkan resitensi antibiotik.

Resistensi antibiotik adalah kemampuan bakteri atau mikroba untuk bertahan terhadap efek dari suatu antibiotik. Hal ini mempunyai dampak yang mengkhawatirkan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah meminta agar praktek pemberian antibiotik yang merangsang pertumbuhan pada pakan ternak dihentikan.1Bahkan Uni Eropa telah melarang beberapa jenis antibiotik sebagai growth promoterpada pakan ternak.2 Penggunaan antibiotik dengan dosis rendah yang terus menerus dapat menyebabkan mikroba patogen (dapat menyebabkan penyakit) beradaptasi terhadap “serangan” antibiotik tersebut, di samping dikhawatirkan dapat membunuh mikroorganisme usus yang menguntungkan. Dampak pada sektor perdagangan pun terasa, seiring dengan dugaan bahwa keserampangan penggunaan antibiotik paling banyak terjadi pada peternakan babi dan ayam, upaya ekspor ternak kedua hewan tersebut selalu menemui kendala.

Berbagai macam terobosan

Kajian, wacana dan upaya menyikapi masalah resistensi antibiotik yang memang telah lama terjadi sudah diterapkan dan digulirkan. Penggunaan probiotik sebagai bahan aditif pengganti antibiotik  telah direkomendasikan karena dapat meningkatkan kualitas pakan ternak di samping mengurangi efek residu antibiotik. Contoh lainnya yaitu pemanfaatan tepung cacing tanah sebagai suplemen pakan unggas sebagi pengganti antibiotik komersial. Terobosan terbaru untuk menghasilkan produk pangan asal hewan yang lebih sehat pun terlah dilakukan.  Wacana ayam herbal yang memperbarui wacana ayam organik telah mulai diperkenalkan, yaitu ayam ayam yang yang dibudidaya secara alami menggunakan pakan racikan khusus serta penggunaan suplementasi jamu ternak sebagi pengganti obat-obatan. Dengan begitu, diharapkan daging ayam yang dihasilkan mempunyai kualitas yang lebih baik. Ayam herbal diklaim memiliki daging yang lebih berkualitas, kadar lemak lebih rendah, serat daging lebih padat, aroma daging lebih segar, rasa yang lebih enak di samping tentunya memiliki residu antibiotik yang sangat sedikit. Ada lagi peptidobitik, yaitu senyawa peptida pengganti antibiotik sebagai feed additives yang berfungsi untuk mengendalikan mikrobamerugikan dalam saluran pencernaan ternak. Peptidobiotik mempunyai keunggulan yaitu tidak meninggalkan residu dalam tubuh ternak.

Segala terobosan itu bukkannya tanpa halangan. Penggunaan probiotik atau tepung cacing tanah misalnya, ternyata tidak berimplikasi nyata selama pakan yang digunakan adalah pakan ayam komersial yang di dalamnya masih terkandung antibiotik. Ayam herbal pun, karena skala produksi yang masih kecil, harganya relatif lebih mahal dibandingkan ayam broiler biasa, selain diperlukan kajian lebih lanjut tentang ramuan jamu yang digunakan dengan memperhitungkan nilai ekonomis. Sedangkan wacana peptidobiotik memerlukan kajian lebih lanjut tentang sumber-sumber yang dapat digunakan sebagai penghasil senyawa peptida.

Penyikapan Masalah

Sebagai kalangan yang mengerti atau dianggap mengerti, yaitu profesi kesehatan, contohnya dokter hewan mempunyai tanggung jawab dalam menyikapi  permasalahan tersebut. Salah satunya adalah sosialisasi dan merubah paradigma masyarakat, khususnya para pelaku yang terkait dengan sektor peternakan. Pemahaman bahwa segalanya harus dimulai dengan manajemen kandang yang baik, yang salah satu pilar utamanya adalah biosekuriti perlu ditularkan. Lingkungan yang baik tentunya akan mencegah terjadinya penyakit serta menekan penggunaan obat yang sesungguhnya tidak diperlukan, di samping mendukung proses penyembuhan penyakit apabila terlanjur terjadi. Selanjutnya adalah peningkatan kompetensi kalangan profesi kesehatan. Pemahaman yang baik tentang penyakit, diagnosa dan pengobatan spesifik bagi penyakit pun mutlak diperlukan. Contohnya dokter hewan yang mempunyai kewajiban untuk  menegakkan diagnosa yang tepat sehingga dapat menghindari antibiotik broad spectrum (spektrum luas) yang akan ikut mematikan organisme bukan penyebab penyakit dan dapat menggunakan antibiotik  narrow spectrum yang lebih spesifik.  Memberikan payung hukum yang sesuai adalah langkah selanjutnya. Upaya pengawasan lalu lintas obat, walaupun sulit, dapat sedikit demi sedikit dibenahi, contohnya adalah pelarangan penjualan obat murni kepada pihak yang tidak berwenang. Meniru himbauan WHO dan mengikuti langkah Uni Eropa dan negara lain, larangan penggunaan beberapa jenis antibiotik dalam pakan ternak dapat diikuti. Terakhir adalah riset dan penelitian, yang harus sejalan dengan upaya-upaya di atas. Penelitian tentang bahaya resistensi antibiotik perlu terus dilakukan dengan diikuti riset mengenai terobosan-terobosan yang dapat menggantikan atau setidaknya mengurangi penggunaan antibiotik contohnya kajian tentang khasiat berbagai macam obat tradisional serta ramuannya, diikuti upaya pematenan sehingga dapat diterapkan pada ternak skala besar.

1       European Commission, 1998. Commission Regulation of Amending Council Directive 70/524/DEC Concerning Additives in Feedingstuffs as Regards Withdrawal of Authorization of Certain Antibiotics. No. VI/7767//98, Brussels, Belgium

2       World Health Organization, 2000. WHO Global Principles dfor the Containment of Antimicrobial Resistance in Animals Intended for Food. Pages 1-23 in document WHO/CDS/CSR/APH/2000.4  WHO, Geneva




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline