Ratusan bulir kopi tertata dengan apik di dalam wadah-wadah beling kuno. Mereka bersatu bersama rupanya masing-masing, berjejer rapi dalam gerai yang tidak kalah kuno. Sudah lama bulir-bulir kopi tidak berubah menjadi bubuk yang akan diseduh untuk dinikmati sarinya karena tidak ada tamu yang singgah untuk memesan. Wangi kopi menghentikan langkahku yang akan meninggalkan kedai ini. Berbalik ke arah dapur untuk memastikan penciumanku tidaklah salah. Perempuan tua berbaju kebaya lusuh tengah berdiri dengan secangkir kopi ditangannya. Aku menerima cangkir enamel itu dan kuseruput sedikit hanya untuk menghargainya.
Aku meninggalkan kedai menggunakan satu-satunya kendaraan yang kumiliki. Sepeda onthel jenis Gazelle selalu setia menemani empunya sejak pendahulu-pendahuluku dulu. Kini giliranku yang menjadi tuan bagi sepeda tua ini. Mengayuh pedal menikmati lenggangnya jalanan membuat seulas senyum terukir dibibirku, semua beban seolah lenyap saat aku meninggalkan kedai itu.
Berdiri seorang diri di depan rumah sederhana namun, sering dikunjungi oleh khalayak umum yang ingin mengobati dirinya. Kali kedua aku bertandang ke sini dengan harapan jika kondisiku sudah lebih baik dari kala itu meskipun pada kenyataannya berbanding terbalik dengan apa yang aku rasakan. Kehadiranku telah disambut oleh lukisan-lukisan bertuliskan aksara hanzi disetiap sudut ruangan. Masuk ke dalam salah satu ruangan yang tidak begitu besar membuatku menutup hidung dengan telapak tangan. Aroma yang berasal dari rempah-rempah pahit yang terletak di atas meja kayu panjang begitu menyengat menusuk ke dalam indra penciumanku dan menjadi fokus utama pandanganku saat berada di ruangan ini. Entah ramuan apa lagi yang harus aku konsumsi untuk mengabarkan nyeri yang sering aku rasakan.
Kini giliranku menghadap sang Tabib untuk memperjelas bagaimana sebenarnya kondisiku. Aku membiarkan Tabib yang sudah berumur memegang telapak dan jari-jari tanganku sebelum si Tabib menuangkan cairan hangat yang aroma rempahnya begitu menyengat dan meratakan cairan itu untuk tersebar rata pada telapak tangan dan jemariku. Aku menutup mataku saat harus merasakan sakit ini untuk kedua kalinya saat Tabib itu menusuk ujung jari tengahku dengan sebatang jarum yang cukup tajam. Darah segar langsung mengalir deras dari ujung jari tengahku dan dibawahnya sudah terlebih dulu disiapkan tabung kaca dengan ukuran kecil untuk menampungnya. Aku menuruti perintah sang Tabib untuk melilitkan selembar daun yang tersedia diatas meja kayu guna menghentikan darah yang terus mengalir.
Aku hanya bisa memperhatikan tingkah laku sang Tabib dengan tabung kecil yang didalamnya terkandung darahku. Lantas sang Tabib menuangkan darahku ke dalam sebuah alat yang terbuat dari metal. Tidak lama kemudian alat itu menampakkan sebaris tulisan beraksara hanzi yang sama sekali tidak aku mengerti. Sang Tabib langsung membuka kitab tebalnya untuk mencocokkan tulisan yang keluar dari alat itu dengan deskripsi yang terdapat dalam kitab tersebut.
"Masih ada waktu untuk merubah pola hidup sebelum asam lambung ini berubah menjadi liver yang dapat membunuhmu, menjauhlah dari kafei." Akhirnya sang Tabib memberikan penjelasan setelah membuatku menunggu cukup lama. Aku membeli minuman rempah sebelum beranjak dari rumah ini. Aku juga menerima kertas berwarna cokelat yang berisi panduan untukku menjalani hidup sehat. Aku selipkan kertas itu ke dalam dompetku yang selalu tipis dan kusimpan dengan sebaik mungkin.
Aku kembali mengayuh sepedaku untuk menuju salah satu pasar tradisional yang terdapat di ujung jalan ini. Ada satu kedai kopi modern yang menarik perhatianku karena meskipun bernama kedai kopi namun, tidak hanya kopi yang ditawarkan. Saat akan melanjutkan perjalanan, satu bangunan baru yang letaknya tidak jauh sebelum pasar tradisonal kembali menarik perhatianku. Banyaknya muda-mudi yang memenuhi bangunan baru itu membuatku memilih untuk singgah sebentar.
Mengamati eloknya bangunan ini yang sangat kental dengan nuansa muda-mudi masa kini menjadi daya tarik tersendiri untuk tempat ini yang biasa orang sebut sebagai Caffe. Pelayan Caffe menyambutku dengan ramah begitu aku melangkahkan kakiku ke dalam Caffe ini. Aku memilih duduk di depan meja barista dan menyaksikan sang barista mengolah daun teh hitam yang diseduh dengan air panas untuk dapatku nikmati sarinya. Mataku dimanjakan dengan tarian tradisonal yang sengaja ditunjukkan untuk menghibur para tamu yang singgah disini. Jari jemari lentik sang penari yang bergerak seirama dengan alunan musik menjadi suguhan yang menarik untuk para tamu sembari menunggu pesanannya datang. Jika bukan karena surat wasiat aku sudah terlebih dulu merubah kedaiku yang sudah berumur lanjut itu menjadi tempat yang diminati oleh kawula muda.
Aku beranjak pergi saat secangkir teh hitam dihadapanku telah habis tanpa sisa. Langit gelap menyambutku begitu keluar dari Caffe ini. Meski waktu telah berganti namun, pengunjung Caffe ini tidak begitu saja berhenti. Banyak hal yang menjadi daya tarik tersendiri bagi tempat ini jika dibandingkan dengan kedai kopi milikku. Aku kembali menyusuri jalanan yang berubah menjadi lebih sepi jika malam hari. Lampu-lampu jalan menjadi temanku untuk menerangi jalanku pulang. Aku masuk ke dalam kedai dan mendapati perempuan berbaju kebaya tadi tengah berdiam diri di belakang gerai. Melihat kehadiranku, dia langsung bangkit dan menyambutku dengan senyum hangat seperti aku sedang benar-benar pulang ke rumah.
Kakek nenek buyutku sengaja membangun kedai ini untuk nantinya diwariskan kepada anak cucunya. Kecintaan keluargaku terhadap kopi membuat kedai ini bisa bertahan selama ini meski pada realitanya kini telah berubah menjadi sepi dan tidak lagi diminati sejak kedua orang tuaku merawiskannya kepadaku. Jika hanya kedai ini yang diberikan aku akan dengan senang hati untuk merubahnya menjadi sumber penghasilan utamaku yang menguntungkan tetapi terlalu banyak syarat yang diberikan oleh kedua orang tuaku sebelum mereka pergi. Cita rasa kopi harus benar-benar dijaga tanpa adanya tambahan bahan dan tambahan menu yang ditawarkan. Selain itu, perubahan interior juga tidak diperbolehkan dengan dalih supaya tamu yang singgah dapat menikmati nuansa kedai kopi pada masa lampau.
Nampaknya aku tidak hanya mendapati perempuan berbaju kebaya saja yang menurut mendiang Ibuku racikan kopinya jauh lebih baik jika dibandingkan dengan racikanku yang merupakan keturunan langsung sang pendiri kedai. Aku juga mendapati seseorang berpakaian jas rapi dengan kemeja putih di dalamnya dan dasi berwarna biru yang menjadi pemanisnya. Laki-laki ini merupakan pelanggan utama sejak beberapa hari terakhir tetapi maksudnya datang tidak hanya untuk menikmati secangkir kopi pahit itu. Dia selalu mencoba merayuku untuk menjual kedai ini, jika aku menyerahkan bukti kepemilikan kedai hari ini maka pelunasan pembayaran akan dilakukan beberapa menit setelahnya yang langsung ditujukan ke rekeningku.