Saya mempunyai seorang ayah seorang gembala di sebuah gereja di Sampit, Kalimantan Tengah. Beliau mulai menggembalakan jemaat Tuhan di sana sejak tahun 1994, yaitu pada saat saya naik SMA.
Awalnya kami tinggal di Surabaya. Hati gembala dimiliki ayah sejak sebelum beliau merantau ke Kalimantan. Sejak saya kecil, rumah kami dibuka menjadi tempat persekutuan doa yang diadakan setiap hari Rabu. Jadi setiap sore, anak-anak harus kerja bakti membersihkan rumah kami untuk persekutuan itu.
Secara manusia, jiwa anak-anak pun meronta. Saat anak lain santai, kami harus bersih-bersih. Begitu pula saat persekutuan selesai, kami harus membersihkan sampah yang ditinggalkan orang persekutuan.
Setiap hari Minggu ada sekolah Minggu untuk anak-anak. Kami wajib ikut, walau kami malas sekali sebenarnya. Tapi semua itu adalah salah satu usaha orang tua saya untuk mengenalkan kami pada Sang Pencipta. Kami anak-anak pun menurut saja, walau hati kesal.
Ayah dan ibu saya sering meninggalkan kami 4 bersaudara di rumah untuk bekerja atau urusan mereka. Jadi kami ditempa sedemikian rupa untuk mandiri. Kami jarang sekali punya ART. Kami diantar ke sekolah, tapi pulang naik kendaraan umum. Jika sore hari ada les, kami akan berangkat sendiri dengan jalan kaki, walau cukup jauh. Waktu itu masih relatif aman, menurut pengalaman kami, untuk pergi sendiri. Bisa dibayangkan kalau anak SD sekarang jalan kaki sendiri ke mana-mana tanpa didampingi orang dewasa, apa jadinya? Penculikan anak? Kecelakaan? Entahlah. Jika saya pikir, orang tua saya nekad juga ya, berani mempercayakan anak-anak untuk melakukan apa-apa sendiri. Pembelajaran kami terus berlanjut. Saat kuliah, kami harus berusaha mencari uang untuk biaya kuliah kami sendiri. Ayah saya hanya membiayai uang masuk kuliahnya saja. Ditempa dan ditempa, itulah kami. Bagi saya pribadi, itu membentuk saya untuk berjuang. Sesusah apa pun, harus tetap berusaha. Jika saya menyerah, tamatlah semuanya.
Ayah saya begitu memedulikan orang lain. Tak jarang orang datang ke rumah kami untuk minta makan, minta bantuan dan sebagainya. Padahal kondisi kami sendiri pun bukan orang berada, makan pun seadanya saja.
Ayah saya selalu siap sedia menolong orang lain. Jika di jalan saat kami melintas, ayah melihat paku di jalan, ayah akan berhenti untuk memungutnya lalu membuangnya di tempat sampah. Ayah berkata, "Ini bahaya.
Jika terinjak, roda bisa bocor." Jika di jalan, ada tabrakan. Ayah tidak segan akan berhenti dan menolong mereka. Saya dulu heran. Kenapa harus selalu ikut campur? Kenapa harus selalu merepotkan diri menolong orang, kita sudah terlambat nih? Prinsip ayah saya, jika dia berbuat baik, kelak jika sesuatu menimpa anaknya, orang lain pun akan menolong anaknya. Begitulah ayah dan prinsipnya.
Tidak sampai di situ. Satu hal yang dulu pernah membuat saya bingung adalah saya harus bekerja sambil kuliah demi bisa membiayai kuliah sendiri, tapi ternyata di Sampit, ayah saya menyokong sekolah anak-anak jemaatnya. Halo? Why, why, why? Buat saya itu sangat tidak adil. Tapi itu membentuk saya dan menyiapkan saya menjalani hidup saya selanjutnya. Di dunia perkuliahan, dunia bekerja, berumah tangga, mendidik anak. Tidak semua yang kita alami bisa kita lalui dengan mudah. Somehow saya harus menghadapinya sendiri tanpa orang tua. Saya jadi teringat Sang Gembala selalu memperhatikan dombanya, mendidik dan menjaga walau kadang dari kejauhan. Memastikan dombanya aman, tanpa dombanya sadari. Begitulah yang dilakukan ayah saya.
Sekarang ayah sudah pulang ke surga. Didikan dan ajarannya tidak pernah saya lupakan. Walau saya tidak berhati gembala seperti ayah, saya tahu saya pun harus mendidik anak saya bukan dengan memanjakan mereka, tapi mendidik mereka agar kelak mereka pun jadi anak-anak yang tangguh, mandiri dan pantang menyerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H