Kau terlalu patah.
Seperti,
pensil yang tak sanggup berdiri.
atau tali yang tak sanggup mengikat.
Kau terlalu marah.
Memangnya ini salah siapa,
tanyamu.
Hujan tidak pernah salah turun.
Walau saat itu dia memberimu payung.
Cinta tidak pernah salah tempat.
Walau kenyataan itu ingin sekali kau debat.
Berdiri di antara hidup dan mati memang bukan sebuah pilihan.
Itu keputusan.
Kakimu menjejak, namun pikiranmu melayang.
Seperti orang yang kehilangan kesadaran.
Kau yakin, saat ini kau tengah koma.
Seseorang berkata, jangan terlalu menyayangi luka.
Namun kau bertanya,
memangnya luka itu apa?
Sepengetahuanmu, luka adalah teman.
Ia seringkali menghadiahimu senyuman.
Walau terkadang dibungkus oleh air mata.
Tapi tidak apa, katamu.
Kau bahagia luka masih mau menemanimu.
Itu lebih baik dibanding dia yang memilih pergi.
Namun, saat kau yakin hatimu telah menjejak.
Siluet orang itu berlarian di bola matamu.
Tidak ada yang berbeda dari perawakannya.
Kecuali senyum,
dan tawa yang sudah tidak lagi menjadi milikmu.
Kau terlalu patah.
Kau terlalu marah.
Kau mencari-cari luka,
memohonnya untuk kembali berteman.
Kau tersadar.
Setelah lama koma, semua organ membaik,
kecuali hati.
Ia harus segera diamputasi.
***
Puisi ini diikutsertakan dalam Event Fiksi - Luka.
cc: sumbangan ide oleh Putri Apriani 💕
11 Nov 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H