Masih dalam euphoria hari buku, tahukah kalian siapa dalang yang telah melahirkan tetralogi Laskar Pelangi? Ya, Andrea Hirata. Penulis kelahiran Belitong ini sebenarnya mempunyai jejak akademis di bidang ekonomi. Hirata mendapat gelar sarjana di Universitas Indonesia dan melanjutkan pendidikan post graduated di Universitas Paris dan Universitas Sheffield Hallam, Inggris dengan predikat Cumlaude.
Penulis yang mengaku sangat hobi naik komidi putar ini telah melahirkan karya-karya best seller yang membuatnya berada pada lingkaran penulis ternama di dunia. Karyanya yang paling fenomenal—Laskar Pelangi—telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan dipasarkan secara luas di Amerika, Italis, Brazil, Jerman, Prancis, Korea, serta beberapa negara Asia dan Eropa lainnya dengan judul “The Rainbow Troops”.
Namun kali ini, saya tidak akan membahas Laskar Pelangi dan sekuelnya, saya hanya akan membahas salah satu karya best sellernya yang lahir setelah tetralogi Laskar Pelangi, yaitu Dwilogi Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas.
Sebongkah Cinta Untuk A Ling
Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas mengisahkan suatu cerita melalui dua sudut pandang: Ikal dan Enong. Ini merupakan perpaduan yang sungguh unik karena keduanya memiliki jalan hidup dan permasalahan yang berbeda namun disatukan dalam suatu kisah yang apik.
Ikal, seorang lelaki berumur dua puluh lima tahun, hendak melarikan diri bersama kekasihnya A Ling karena tak mendapat restu dari sang ayah. Namun bukannya sampai ke Jakarta, Ikal ditampar oleh kenyataan bahwa A Ling tak kunjung datang menemuinya di pelabuhan Tanjong Pandan. Berdasarkan kabar burung yang beredar, A Ling hendak dipinang oleh seorang pria tampan nan kaya raya bernama Zinar. Di sinilah Ikal mulai bertekad untuk menunjukan bahwa dirinya sungguh lebih baik dan lebih pantas.
Tidak seperti novel cinta lainnya, Padang bulan memadukan suatu perjuangan cinta yang realistis, tidak neka-neko, dan sederhana. Ikal yang cemburu dengan ketampanan Zinar dan segala kabar burung tentang kepiawaiannya di semua cabang olahraga, mendapati dirinya ingin menantang pria yang ciamik itu: demi harga diri dan sebongkah cintanya untuk A Ling.
Wanita Yang Tak Pernah Menyerah
Sementara itu, Enong harus merasakan pahitnya ditinggal seorang ayah dalam usia yang masih belia yakni 12 tahun. Sebagai anak pertama, Enong merasa beban untuk menghidupi keluarganya telah berpindah ke punggung kecilnya. Ia memutuskan untuk berhenti sekolah dan merantau ke Tanjong Pandan demi mendapat sebuah pekerjaan.
Namun lagi-lagi nasib pahit harus ia telan, Enong tak mampu bersaing di Tanjong Pandan dan kembali ke kampungnya dengan tangan hampa. Pikiran yang dipenuhi dengan nasib keluarganya membuat ia memutuskan untuk mengikuti jejak sang ayah—berteman dengan ladang, cangkul, dan lumpur. Enong menjadi pendulang timah wanita pertama.
Meski begitu nasib pahit tak lekas hilang dari hidupnya, Enong harus menelan bahwa ia ditipu oleh juru taksir yang mengatakan bahwa kadar timahnya sedikit, lalu dikejar anjing liar oleh orang yang tak rela bahwa ia menemukan lokasi timah dan dinikahi oleh sang pengkhianat yang telah beristri—Matarom.