Lihat ke Halaman Asli

Tutut Setyorinie

TERVERIFIKASI

Pegiat Lingkungan

Cerpen | Kematian Tersenyum Padamu

Diperbarui: 6 April 2017   21:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah beberapa hari kau lupa untuk menelepon ibumu. Terakhir kali kau meneleponnya, ia meminta untuk dibelikan panci baru. Konon panci itu bisa membuat masakan apapun matang lebih cepat, bahkan lebih nikmat. Ia juga memberi tahumu bila saja kau memesan sebelum tanggal dua puluh empat, mungkin diskonnya masih bisa didapat.

Inginmu kau menolak, dengan alasan kau tidak akan menerima gaji di tanggal dua puluh empat. Inginmu kau menolak, dengan berkata bahwa panci-panci yang ada masih layak. Tetapi apa daya jika wanita yang berjuang mati-matian untuk melahirkanmu sudah meminta. Bahkan bila wanita itu meminta 1000 pancipun akan kau penuhi walau harus menjadikan malam sebagai pagi.

Sudah lama juga kau tak menengok ayahmu. Kulihat sebulan yang lalu kau bertengkar dengannya hanya karena ia ingin sebuah televisi baru.

“Yang datar dan lebar, Man. Dan juga yang bisa nempel di dinding, supaya bapak bisa menontonnya sambil tertidur” pinta bapakmu.

Kau yang baru saja mendapat surat PHK langsung naik pitam. Jangankan berpikir untuk membeli televisi layar datar, untuk makan besok saja masih belum terpikirkan. Tetapi bapakmu yang terlanjur ngidam, tak ingin mendengar alasan. Pilihannya hanya dua, “ya” atau “tidak”.  Dan kau memilih untuk melayangkan surat PHK itu di depan matanya lalu melesat pergi.

Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Malam harinya, bapakmu melemparkan semua baju-bajumu yang ada dalam almari, sambil berteriak “Jangan pulang atau bawakan teve layar datar itu!”

Adikmu—Nurlaila—mendadak mengetuk pintu kontrakanmu dengan wajah kusut nan layu. “Bang, ban sepedaku bocor. Kenapaku di tengah jalan.” 

Ingin sekali kau mengutuk anak iseng yang suka menebar paku itu. Dan juga lampu jalan yang tak cukup melawan keremangan malam. “Kok malam-malam kesini, Lai? Ada apa?”

“Aku diminta ibu untuk ngingetinabang—jangan lupa beli panci baru. Karena sebentar lagi diskonnya mau habis.”

Kau melongo tak percaya. Adikmu menempuh berkilo-kilo meter dengan sepeda hanya untuk menyampaikan secuil pesan yang bahkan sudah ia ingat di luar kepala. “Bilang ke ibu, abang sudah ingat.”

“Bang… Ini.” Adikmu menyerahkan sesuatu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline