Kalian tahu, hari minggu? Apa yang akan kau lakukan ketika hari itu tiba? Jalan-jalan? Karokean? Atau refreshing ke pusat perbelanjaan? Kalau aku.. Kemungkinan aku akan berdiam di sudut kamar, sambil mengutuki kesengsaraan yang datang bersamaan dengan hari minggu.
Ibuku penjual sayuran di pasar. Hari minggu justru merupakan hari yang ideal baginya untuk berjualan. Sedangkan bapakku, ia buruh swasta. Sabtu minggu adalah hari libur baginya. Namun itu benar-benar dimanfaatkannya untuk membetulkan sebuah radio butut yang akan kembali rusak di satu minggu berikutnya.
Bapak berkumis tebal dan berbadan besar. Tidak seperti bapak kalian yang mungkin berpakaian licin dengan rambut klimis dan tampak manis. Bapak juga mempunyai suara berat, pendek dan keras. Mungkin juga berbeda dengan bapak kalian yang bersuara penuh perhatian, ringan, dan panjang. Setiap kali aku mendekatinya, bulu romaku akan berdiri dan kedua tungkaiku akan gemetaran sendiri. Hal yang ingin kusampaikan seketika buyar, bahkan sebelum aku sempat memikirkannya.
Tapi minggu ini aku benar-benar bosan. Seminggu menjalani ujian semester membuat benang-benang di otakku berjalan kusut dan ruwet.
“Aku ingin liburan, pak!” begitu kataku pada Bapak setelah semalaman mengumpulkan tekad.
Bapak seperti yang kuperkirakan akan berdehem pendek tanpa membagi fokus dari radio bututnya. Ia malah mempersilakanku duduk di sebelahnya sambil memegangi salah satu kerangka radio yang berlepasan, “Liburan kemana, Ndo? Biasanya kamu betah aja di rumah.”
“Kemana saja. Yang penting liburan, pak,” jawabku ketus karena aku malah diminta memasang salah satu baut radionya.
Bapak hanya mengangguk. Tapi anggukannya tidak selalu berarti ya. Dua minggu lalu, bapak juga mengangguk saat aku merengek minta diajari matematika. Namun ternyata anggukannya berarti: ya, bapak tidak bisa ngajari kamu, Ndo.
Namun kali ini anggukan bapak diikuti kumis tebalnya yang bergoyang lembut. Kukira anggukannya kali ini mungkin berarti: bisa ya, bisa tidak. 50%.
“Sudah pernah ke kolong meja bapak?”
Kolong meja? Keningku mengerut dalam. Jika saja bapak tak memasang muka geram dan suara beratnya itu, mungkin aku akan mengelak dan membalas: kenapa ke kolong meja, pak? Aku kan ingin liburan. Namun sayangnya, saat itu keberanianku mulai berceceran. Bapak sudah sibuk dengan radio bututnya. Dan aku tak punya pilihan selain pergi dan menyerah.