“Masih tentang dia?”
“Kamu tahu, saya tak pernah berhenti memikirkannya.”
Luci sekarang mendekati saya sambil merobek-robek daun dalam mulutnya yang tak bergigi sempurna. “Dan kamu seharusnya sadar Pal, kita ada di daftar makhluk yang tak pernah diinginkannya.”
Saya membeku. Lalu kembali teringat pada sosok lelaki sederhana yang saya jumpai setiap pagi buta. Walau dengan baju lusuh penuh lubang dan topi bertambal, tak pernah saya rasakan perasaan yang semenggelegak itu sebelumnya pada seseorang. “Lantas apa ada celah untuk dia menyukai saya?”
“Kamu bicara layaknya remaja yang sedang kasmaran saja, Pal.” Luci terkekeh. “Mungkin kamu harus meminimalisir kebiasaanmu menonton sinetron khas anak muda. Mereka meracuni otakmu.”
"Saya tak merasa seperti itu."
Luci menyenggol bahu saya, terkekeh, lalu meneruskan pekerjaannya. “Jangan terlalu cemberut. Besok kita perlu tempat untuk bersembunyi. Besok adalah jadwalnya.”
Saya berpikir sejenak. Menimbang.
“Kamu tak begitu bodoh kan, Pal?” Luci melengok. Saya menghindarinya.
“Jangan korbankan nyawamu. Kita harus pergi.”
Saya menggeretakan gigi, membayangkan esok hari. “Tapi ini kesempatan saya, Lus. Mungkin, besok, semua impian saya akan terwujud. Mungkin besok adalah waktu saya untuk menunjukan padanya.”