Ayah—itulah sebutan kesayanganku padanya. Namun sayang, sosok lelaki tegap yang sangat kukagumi itu tak lagi menyinggahi rumah ini. Mungkin baginya rumah itu sudah terlalu tua. Atau mungkin rumah ini sudah tak senyaman sedia kala. Entahlah, yang kutahu, semenjak kematian Ibu, aku tak pernah lagi menemukan sosok murah senyum itu di sini.
Mungkin lelaki tegap itu tak pernah tahu, bahwa ia adalah sosok yang kukagumi sejak dulu. Ya, aku sama seperti Ibu. Selalu mengagumimu.Tapi saat Ibu memilih berbahagia di alam lain, kau juga berbahagia di rumah lain.
Aku tak mengerti perih apa yang kau maksud saat bergegas meninggalkan rumah ini. Katamu, kau terlalu terluka. Katamu, kau terlalu teringat pada sosok Ibu. Dan apa salahnya kalau kita dipaksa untuk mengingat Ibu? Bukankah ingatan satu-satunya cara menyimpan kenangan indah bersamanya?
Tak maukah kau begitu?
Sekarang gadis remajamu sudah beranjak dewasa. Usiaku hampir menginjak dua puluh tiga. Tak terasa sudah lima tahun kau pergi meninggalkan rumah. Dan tak sekalipun kau bertandang lagi untuk sekedar bersapa. Kekagumanku padamu mulai berganti menjadi kebencian. Kau seharusnya bilang, bahwa sejak dahulu pun kau tak pernah mencintaiku. Dengan begitu, aku tak perlu memuji sosok tegapmu. Dengan begitu, aku tak akan perlu menunggu hadirmu di balik pintu.
Dengan begitu, aku tak perlu memanggilmu ayah.
Namun nasi telah menjadi bubur. Aku sudah terlalu mencintai sosok tegapmu dan kehangatan belaianmu. Aku sudah terlalu merindu ketukanmu di balik pintu serta senyum cerahmu dan sorot hangatmu. Sampai aku lupa, bahwa suatu saat cinta bisa berubah menjadi benci yang tak terkira.
Minggu pagi aku tak menyangka Tuhan akan mengobati rasa rinduku. Sosok tegapmu yang berbalut kemeja biru tampak di ujung persimpangan jalan Serbabu. Mungkin kau lupa, bahwa persimpangan itu adalah jalan tercepat menuju rumah yang demi apa pun ingin masih ingin kusebut dengan rumah kita.
Penampilanmu sungguh berbeda. Atau aku yang mulai lupa karena terlalu lamanya tak berjumpa. Ingin sekali aku menyapamu waktu itu. Ingin sekali kuhentikan langkahmu dan kutarik paksa tanganmu menuju rumah. Tapi apa dayalah aku. Karena bergerak pun tak lagi mampu. Tuhan…. hadiah ini terlalu membahagiakan.
Kupikir tak ada salahnya mengikuti jejakmu saat itu. Aku hanya ingin tahu di mana rumahmu. Senyaman apa tempat berteduhmu. Dan siapa sosok yang bersedia menggantikan Ibu.
Namun ternyata…