Sepi. Senyap. Sunyi.
Telingaku berdenging kencang. Bukan karena suara bising dari luar, tetapi karena suara bising dalam diriku sendiri. Sepi ini menusuk-nusuk gendang telingaku. Senyap ini merobek-robek pikiranku. Mungkin sebentar lagi sunyi ini akan menghujam jantungku. Lalu merenggutnya lepas dari tempatnya berteduh.
Gelap. Gelap. Hitam.
Cahaya mendadak hilang. Aku tak bisa melihat. Seseorang, tolong nyalakan lampu. Tapi tak ada yang menghiraukanku. Aku harus lari. Sepi itu akan menghampiriku lagi jika aku masih di sini. Ia akan membunuhku sebentar lagi.
Tolong. Seseorang, tolong aku.
Aku terdampar di atas pasir putih. Seharusnya tempat ini berdekatan dengan laut, tapi nyatanya tidak. Aku tak menemukan lautan kemanapun mata ini memandang. Sepi itu mulai mengejarku lagi. Aku bisa merasakan gaung suaranya yang menusuk gendang telinga. Ia akan datang.
Lelap. Aku tertidur lelap.
Kantuk yang luar biasa dahsyat menyerangku. Kelopak mataku mendadak terbuat dari batu yang berlapis baja—sulit sekali untuk dibuka. Tapi aku tak boleh terlelap. Aku harus tetap tegap untuk berlari. Lari dari kesepian ini.
Pisau. Darah. Merah.
Bau anyir menyeruak dimana-mana. Kulihat air merah mulai menggenani telapak kakiku. Inikah darahku? Betulkah sepi akhirnya menang? Betulkah sunyi akhirnya merenggut jiwaku dan menghujamnya dengan lusinan pisau dapur?
Gelap. Gelap. Hitam.