Lihat ke Halaman Asli

Tutut Setyorinie

TERVERIFIKASI

Pegiat Lingkungan

Nenek Tua di Sisi Kota

Diperbarui: 22 Juli 2016   14:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kaki kecilnya tak pernah berhenti melangkah menyusuri liku-liku jalan yang dipenuhi hiruk pikuk masyarakat kota. Tangan mungilnya yang mulai berurat dengan lihai menjajakan sebuah kue lupis, kue sederhana khas kota tempat kelahirannya, Yogyakarta. Walau usianya sudah semakin renta, dan langkahnya kadang tergopoh-gopoh nenek tua itu masih sangat semangat untuk mencari setitik ilahi guna menyambung esok pagi yang lebih baik.

Tak terasa matahari semakin beranjak meninggi. Bulir demi bulir keringatnya pun mulai berjatuhan dari dahinya yang bertatapan langsung dengan sorot surya, menandakan ion tubuhnya mulai menipis. Terkadang jika ia begitu merasa lelah seperti saat ini, ia selalu sempatkan diri untuk duduk sebentar di pinggir trotoar sambil menengguk beberapa tetes air mineral untuk mengobati dahaganya.

Seakan tak pernah mengenal kata lelah, nenek tua itu kembali memadukan langkahnya dalam keramaian kota, kembali membaurkan suaranya dalam bisingnya kendaraan yang berlalu lalang. Dengan senyum tulus, nenek tua itu menawarkan kuenya pada satu persatu orang yang ditemuinya. Berharap seseorang dapat menghampiri dan membeli kue yang sudah ia buat sejak pagi buta itu. Ada yang menyambut dengan baik, terkadang ada pula yang hanya mengejeknya lalu meninggalkan pergi.

Dan kini nenek itu berhadapan dengan segerombolan anak muda yang tampak habis pulang berbelanja. Dengan sedikit serak nenek tua itu pun menawarkan kuenya, “Mba, kue lupisnya cuma dua ribu”

Pemuda-pemuda itu tampak mengacuhkan keberadaan sang nenek, mereka tetap saja asik membicarakan produk kecantikan yang baru mereka beli. Sampai sang nenek tua itu menawarkan kuenya lagi, “Mba, boleh mba ku lupisnya. Enak lho mba, Cuma dua ribu”

Kini semua mata pemuda itu tertuju pada sang nenek. Pemuda berbaju kuning emas tampak tersenyum sinis pada nenek tua itu. sedangkan pemuda berbaju biru gelap menyorotkan pandangan menghujam sambil mengucapkan sumpah serapah yang ditambahi beberapa kalimat cacian oleh pemuda yang lain. Mereka beranggapan bahwa kue yang ditawari sang nenek hanyalah sebuah makanan kuno yang tidak cocok dengan lidah mereka.

Walaupun sang nenek sempat menyanggahnya dengan mengatakan bahwa kue yang dijualnya mempunyai rasa yang manis dan enak. Mereka tetap saja menolak. Pemuda-pemuda itu bersikukuh bahwa kue itu ialah kue kampung yang tidak mempunyai rasa selezat hotdog, pizza ataupun sandwich.

Meski begitu, sang nenek tua itu tetap berusaha ikhlas dan tegar, dan kembali melanjutkan langkahnya menuju tempat lain.

Terkadang, ia pun tak habis pikir, mengapa anak muda zaman sekarang lebih menyukai makanan yang diadopsi dari negeri asing daripada makanan khas negerinya sendiri. Tampaknya memang benar, globalisasi sudah begitu parah menghujam negeri ini.

Setelah lama berjalan, kini teriakannya pun berbuah manis. Seorang gadis kecil bergaun merah, berlari-lari kecil menghampiri nenek tua itu sambil membawa selembar uang lima ribuan. “Nek, aku beli kuenya dua ya”

Nada bicaranya yang masih sedikit cempreng pun berhasil mengukir satu senyuman diwajah keriput sang nenek.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline