Kereta. Mode transportasi yang satu ini sepertinya sudah menjadi makanan pokok bagi warga kota yang akan menunaikan kewajiban sehari-harinya. Tak dapat disangkal lagi memang, bahwa transportasi bergerbong itu kini telah menjadi primadona yang digandrungi hampir separuh masyarakat kota. Mungkin karena harganya yang relatif murah. Atau mungkin tempatnya yang nyaman dengan air conditioner dan televise mini yang dipasang di tengah-tengah koridor.
Bunyi gesekan roda kereta dengan rel, laksana lagu yang meninabobokan para penumpangnya. Hal ini bisa dilihat dari segelintir orang yang tertidur pulas sampai-sampai mulutnya terbuka. Tapi hal itu tidak pernah terjadi pada gadis yang kini sedang berdiri di dekat pintu kereta. Namanya Cendana. Mungkin bukan nama yang pantas bagi seorang gadis bermata keabu-abuan dengan rambut hitam yang selalu dibiarkannya tergerai. Tapi begitulah sang ibu menamainya. Sebenarnya Cendana tidak terlalu menyukai mode transportasi ini. Tapi tuntutan pekerjaanlah dan biaya hidup yang memaksanya begini. Hanya kereta yang masih sanggup ditutupi dompetnya.
Ada satu kenangan buruk yang hingga kini masih terngiang di benak Cendana. Dua tahun lalu, ibunya—Rahmanah—meninggal ketika sedang duduk di salah satu kursi kereta itu. Serangan jantung mendadak. Itu yang membuat dirinya tak terlalu menyukai transportasi ini dan tidak pernah menempati tempat duduk di dalamnya—betapapun kosongnya. Cendana lebih menyukai berdiri di sini, Di dekat pintu kereta yang mempunyai sepasang jendela lebar. Dirinya selalu tersenyum ketika mengamati baris-baris pepohonan yang menghijau di pagi hari. Atau deretan gedung pencakar langit yang rasanya ikut berjalan mengikutinya. Walau pemandangan yang dilihatnya hari demi hari ialah sama, tapi entah mengapa ia tak pernah bosan.
Perjalanan Manggarai-Duri bisa memakan waktu 40 menit jika tak ada halangan. Atau mungkin bisa sampai 1 jam jika ada sesuatu menghalangi. Seperti saat ini. Gadis itu tak banyak bertingkah sekalipun orang-orang telah mengeluh karena jadwal kereta yang sangat terlambat. Cendana hanya berpikir, keluhan tak mungkin bisa membuat kereta ini berjalan. Di saat orang di sekitarnya mulai gerah akan penantian, gadis itu malah menatap tenang ke arah jendela. Kesendiriannya semenjak ditinggal pergi ayah dan ibu telah membuatnya tidak menyukai keramaian. Ia benar-benar tidak suka terperangkap di tengah kerumunan orang. Tapi kalau terpaksa seperti ini, biasanya gadis itu akan memejamkan matanya dan berusaha membayangkan sesuatu yang indah.
Tapi kali ini memang berbeda. Kereta sudah berhenti hampir selama satu setengah jam, ini tentu sudah melewati batas normal keterlambatan yang sudah diperkirakan semua orang. Termasuk Cendana. Tanpa pikir panjang, ia memutuskan untuk menanyakan langsung pada petugas. Tak mungkin sulit menemukan pria berseragam biru dengan topi putih di kereta itu. Yang sulit itu hanya menghampirinya, karena petugas itu sekarang telah dikepung oleh setengah penumpang yang sedang marah-marah. Tapi entah mengapa petugas itu seperti menyadari kehadiran seseorang yang ingin menemuinya. Cendana terheran ketika mata petugas itu bertemu dengan matanya selama beberapa saat. Gadis itu tak mengerti. Tetapi ia memilih kembali ke posisinya semula.
Cendana memang mempunyai firasat tentang petugas itu. Ia merasa petugas yang mempunyai tanda pengenal Benny Setiawan itu telah mengekor pandangan matanya selama beberapa minggu ini. Cendana beberapa kali ingin menangkap basah perbuatan petugas itu dengan berbalik mengekori pandangannya. Tapi hingga kini usahanya belum berhasil.
Pernah suatu kali petugas itu malah sempat mempersilahkannya duduk karena bangku di kereta itu banyak yang kosong. Cendana terlalu kaget untuk menjawab. Jadi ia memilih menggeleng tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
Sebenarnya Cendana menyukai perawakan petugas itu. Ia—pria berbadan tegap dengan kulit sawo matang. Alis matanya tebal menaungi mata hitamnya yang mempunyai sorot tajam dan tegas. Hidungnya ramping diakhiri dengan dagu yang ditumbuhi sedikit janggut.
“Mas, ini kereta kenapa sih? Berhenti kok sampai satu setengah jam,” sahut salah seorang ibu-ibu berseragam kantor, lengkap dengan tas tangannya yang modis.
“Tahu, kenapa sih ini! Udah dari rumah telat, eh di kereta tambah telat,” timpal ibu-ibu lain tak kalah keras.
“Duh.. Ujian. Telat lagi.” Salah seorang murid dengan seragam putih biru, ikut-ikutan mengomel.