Di hari Arabika menyentuh bibirku, lalu menghisap segala yang hampa di kerongkongan, seorang perempuan berdiri di jendela. Mengikuti ke jejak-jejak hujan yang rusuh sejak kemarin senja.
Terlalu pagi?
Tidak, ini terlalu palsu.
Perempuan itu baru kembali dari krisis panjang yang nyaris mengambil semua yang dia percaya. Aku sungguh cemas, ini bakal menjadikannya bengis.
Tapi tidak ada yang memulai bicara, setidaknya mengungkap keinginan masing-masing walau dalam bahasa samar---seperti puisi yang minta diperhatikan tapi ditulis dengan susunan aksara yang membingungkan; seperti perempuan?
Tiba-tiba nafasnya memburu. Dan sesak. Masih ada kemarahan bertumpuk dan belum habis terbakar, rupanya.
Aku meneguk lagi Arabika. Terima kasih, masih sabar di masa-masa sinting seperti begini.
Perempuan itu, perempuan yang meyakini segalanya baik-baik saja. Tidak ada yang berdiri di luar kendalinya. Kini---seperti yang selalu kucemaskan---dia berbakat membakar apa saja, tanpa terkecuali.
Tubuhnya gemetar hebat---"Keparaat, sampah semua!!"
Seteguk lagi, sedikit saja pahit Arabika, bisa mengembalikan waras.
Hujan di depan jendela sedang membawa udara yang lebih tenang. Perempuan itu menghirupnya dalam sekali, seolah-olah ada gua besar yang pengap di dalam hatinya.
Di ujung udara yang dia buang dari bibirnya, aku ingin bilang begini, di titik didih kemarahan, selalu ada banyak pikiran jahat untuk membalas, tapi kutahan. Dendam.