We wanted to prove our superiority on the field - Thiago Motta/Football Italia
Sebelum perjumpaan RB Leipzig (RBL) dan Juventus dihelat, banyak media yang memberi tajuk jika duel ini adalah pertemuan dua tim dengan mekanisme bertahan jempolan di 6 pekan bergulirnya liga-liga Eropa.
Subuh tadi, di Red Bull Arena, Juventus membuktikan diri jika mereka bukan saja lebih baik dalam semua aspek--taktikal dan mental. Mereka adalah wujud dari dinamika proyek dengan kendali transisi yang tepat.
Proyek yang kini sedang diarsiteki oleh Cristiano Giuntoli semestinya sudah dimulai di era Maurizio Sarri, pada musim 2019/2020. Namun, katakanlah, watak konservatisme Andrea Agnelli membuat Sarriball cuma semusim.
Lalu, digantikan Andrea Pirlo yang baru lulus sekolah. Puncak dari kebimbangan ini adalah dengan memulangkan Allegri. Ujungnya, Juventus Baru belum menjadi kenyataan.
Eh tapi, semuak-mualnya Juventini terhadap #Allegriback, ini bukanlah opsi yang sepenuhnya salah, apalagi ahistoris.
Tangan dingin pelatih yang tengah ramai digosipkan sebagai suksesor Erick Ten Hag di Man Utd (duhai semesta, jodohkanlah mereka!) adalah tangan yang mengukuhkan dominasi.
Sembari itu, di masa kepelatihan kedua rezim Allegri, Juventus memang bersandar dengan skuad seadanya-yang penting tetap di jajaran Big Four-tetap menang dengan cara membosankan sebab kalau butuh hiburan kamu ke bioskop saja-dan tetap mengoleksi gelar--(kalau kamu tetap ingin memiliki kepala tanpa kebotakan, jangan pernah menjadi pelatih sepak bola).
Jadi, kita tidak bisa terlalu menghakimi Tuan Allegri dengan modalitas semacam itu--saat itu juga terjadi pagebluk Covid-19 dan klub tersandera lagi dengan skandal laporan keuangan. Lagi pula, konservatisme Agnelli selamanya adalah tonggak historis penting yang belum tentu bisa direproduksi dalam 50 tahun di muka.
Riwayat rezim Agnelli adalah kisah superioritas.